Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)
Malam belum beranjak larut, sebagian orang hendak beranjak menuju peraduannya. Jalan Trans Sulawesi yang menghubungkan wilayah Desa Tanjung Padang dengan desa-desa lain di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala, terlihat lengang. Sesekali, mobil dan motor melintas meninggalkan deru suara mesin di telinga.
Jarum pendek menyentuh angka 10 dan jarum panjang hampir menyentuh angka 9, ketika getaran gempa disertai gemuruh, menghentak keheningan malam. Warga berhamburan keluar rumah, berdiri di bahu jalan, menyelamatkan diri dari ancaman reruntuhan bangunan. Sebagian memutuskan kembali ke dalam rumah, mengambil pakaian, surat-surat berharga, serta apapun yang bisa dijangkau untuk diselamatkan.
Tanpa dikomando, warga pun memutuskan untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Desa-desa yang terletak di dataran yang agak tinggi, seperti Sipi, Sibado, Jono Oge, menjadi lokasi pilihan warga untuk mengungsi.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, dalam rilis pers yang dikeluarkan BMKG menyebut, gempa bumi yang terjadi pada Sabtu (9/9/2023), terjadi pada pukul 21.43 WIB atau 22.43 WITA. Gempa berkekuatan M6,1 ini memiliki titik episenter pada koordinat 0,02° LU ; 119,77° BT, atau berlokasi di laut, pada jarak 49 km barat laut Donggala, pada kedalaman 20 km. Titik gempa berada di wilayah Teluk Tambu, berdekatan dengan titik gempa bumi yang memicu tsunami pada 15 Agustus 1968.
Daryono menyebut, dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposentrumnya, gempa bumi yang terjadi merupakan jenis gempa bumi dangkal, akibat adanya aktivitas Sesar Palu Koro. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa bumi memiliki mekanisme pergerakan geser ( strike-slip ).
Gempa bumi ini berdampak dan dirasakan di daerah Donggala, dengan skala intensitas V-VI MMI (getaran dirasakan oleh semua penduduk. Kebanyakan semua terkejut dan lari keluar), daerah Palu dengan skala intensitas IV MMI (bila pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah), daerah Poso, Sigi, dan Tolitoli dengan skala intensitas III MMI (getaran dirasakan nyata dalam rumah. Terasa getaran seakan akan truk berlalu), daerah Pohuwatu, Kabupaten Gorontalo dan Samarinda dengan skala intensitas II-III MMI (getaran dirasakan nyata dalam rumah. Terasa getaran seakan akan truk berlalu), daerah Kota Gorontalo dengan skala intensitas II MMI (getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda-benda ringan yang digantung bergoyang), dan daerah Kutai Timur dengan skala intensitas I-II MMI (getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda-benda ringan yang digantung bergoyang). Hasil pemodelan menunjukkan, gempa bumi ini tidak berpotensi tsunami.
Warga di desa-desa yang terletak tidak jauh dari pusat gempa, tidak ketinggalan mengungsi untuk menyelamatkan diri. Warga Desa Lombonga, Kecamatan Balaesang misalnya, memilih mengungsi ke rumah keluarga mereka yang berada di dataran tinggi atau mengungsi ke kebun masing-masing. Sebagian warga yang tidak mengungsi, memutuskan untuk tidur di teras rumah, karena khawatir dengan adanya gempa susulan.
Fenomena serupa juga terjadi di Desa Tambu, di mana padamnya listrik saat gempa terjadi, menimbulkan kepanikan di antara warga. Silfiani (30), salah seorang warga Desa Tambu, Kecamatan Balaesang mengatakan, sebagian warga memutuskan mengungsi ke dataran tinggi dan sebagian lagi memutuskan untuk bersiaga dengan tidur di teras atau halaman rumah.
Memori gempa bumi dan tsunami 28 September 2018, serta gempa bumi dan tsunami 15 Agustus 1968, seakan menjadi alarm bahaya bagi warga di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala, terutama yang berada di wilayah yang dekat dengan pusat gempa. Sejarawan UIN Datokarama Palu, Moh. Sairin, yang saat gempa terjadi berada di Desa Tanjung Padang, Kecamatan Sirenja mengatakan, pewarisan ingatan dari bencana gempa dan tsunami Mapaga 15 Agustus 1968 serta bencana 28 September 2018, menyebabkan masyarakat di wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala, lebih sigap dan waspada saat menghadapi bencana gempa bumi.
“Bukti pewarisan ingatan ini, ketika terjadi gempa yang cukup keras, warga tanpa dikomando, langsung berinisiatif mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Pada 2018 lalu, sebelum gempa utama terjadi, warga di pantai barat sudah lebih dulu mengungsi ke dataran tinggi, saat gempa awal terjadi pada siang dan sore hari. Memori gempa dan tsunami Mapaga 1968, melekat dalam ingatan mereka,” ujarnya.
Tsunami 1968 menghantam wilayah pesisir Balaesang, Dampelas, serta Sojol. Meski berdekatan, daerah Sirenja sedikit beruntung sebab terlindung Tanjung Manimbaya. Lanjut Sairin, orang-orang saat itu belum mengenal istilah tsunami. Di Sirenja kata dia, tsunami disebut “lembotalu” yang memiliki arti air laut bergelombang tiga. Tsunami menurut warga setempat, selalu datang dengan tiga gelombang.
Kosakata lembotalu ini kata dia, dipengaruhi oleh bahasa Mandar, Lembong Tallu. Sirenja banyak dipengaruhi Mandar. Dari tradisi lisan, orang Mandar lebih dulu datang daripada orang Bugis di Sirenja.
“Istilah Lembotalu ini, saya dengar dari nenekku. Nenekku tahu dari mamanya, orang kaili di Sirenja,” ujar Sairin.
Gempa bumi dan tsunami 15 Agustus 1968 terjadi pada pukul 06.14 WITA. Gempa berkekuatan M7.2 ini memiliki titik episenter 0,157° LU ; 119,802 BT atau 118 km arah utara Palu, dengan kedalaman 20 km. Titik pusat gempa juga berada di kawasan Teluk Tambu.
Gempa itu memicu gelombang tsunami dengan tinggi mencapai 10 meter. Selain Mapaga di Desa Labean, wilayah lain yang terdampak bencana kala itu yakni Kecamatan Dampelas dan Sojol, Pantai Barat Donggala. 160 orang meninggal dunia, 40 hilang, dan sebanyak 790 rumah penduduk tersapu tsunami.***