Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pada September 1945, datang dua regu LOC (Leger Organisarie Centrale) dengan kapal motor (BO) bernama Beatrix dari Tarakan dan Balikpapan, untuk mengadakan kontak dengan bekas-bekas KNIL di Tolitoli, Donggala dan Palu. Di Palu, LOC 1 yang datang dari Balikpapan itu, mengaktifkan kernbali kurang lebih 25 orang eks KNIL, kemudian membawa mereka ke Manado, untuk penyusunan kembali sebagai pasukan tentara Belanda. Bersama raja-raja setempat di Donggala, Palu dan sekitarnya, LOC ini membentuk pemerintahan darurat NICA di Sulawesi Tengah bagian Barat.
Sesudah pemerintahan NICA berlaku sepenuhnya di seluruh daerah Sulawesi Tengah, mereka mulai menyusun pemerintahan daerah, dengan struktur sama dengan pemerintahan Hindia Belanda dahulu. Di Palu, bekas Kontrolir Parigi, L. Barrau ditunjuk sebagai Hoofd Plaatselijk Bestuur (HPB). Bekas rumah Kontrolir pun dipilih sebagai kediaman HPB. Hal ini diperkuat dengan pernyataan budayawan, Intje Mawar Lasasi Abdullah, bahwa Gedung Juang pernah dihuni oleh HPB Palu, L. Barrau. Lokasi yang berada di depan rumah tersebut pun kembali beralih fungsi menjadi alun-alun rumah HPB.
Buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Sulawesi Tengah menyebut, pada 31 Desember 1946, bekas rumah Kontrolir ini pernah menjadi lokasi perundingan antara L. Barrau dengan pimpinan Gerakan Merah Putih, yang membawa massa kurang lebih 1000 orang, yang berasal dari Sigi, Dolo, Tawaeli dan Palu, untuk menuntut pembebasan anggota Gerakan Merah Putih yang ditahan.
Melihat ribuan massa yang datang, maka HPB Palu L. Barrau bersedia mengadakan perundingan dengan Lolontomene Lamakarate bertempat di rumah HPB Palu (Gedung Juang), di mana semua raja-raja juga berkumpul di tempat itu. Hasil perundingan, para tahanan akan segera dibebaskan besoknya. Pada saat perundingan itu, 1000 orang massa yang hadir, memenuhi alun-alun tersebut.
Pasca periode HPB di Palu berakhir pada 1949, pada 1 Mei 1950, bekas rumah HPB Palu ini dijadikan markas oleh pasukan Penjaga Keamanan Rakyat (PKR), yang dipimpin oleh R. Soengkowo. Hal ini diikuti dengan perubahan nama alun-alun di depan rumah tersebut yang di masa pendudukan Jepang dinamakan Lapangan Honbu, menjadi Lapangan Nasional.
Pada 6 Mei 1950, Lapangan Nasional menjadi lokasi pembacaan maklumat oleh pucuk pimpinan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang juga Magau Palu, Tjatjo Idjazah, yang isinya antara lain pernyataan tiga kerajaan, yakni Palu, Sigi-Dolo dan Kulawi beserta seluruh rakyatnya, untuk melepaskan diri dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.
Budayawan Sulawesi Tengah, Intje Mawar Lasasi Abdulah mengatakan, saat berstatus sebagai Lapangan Nasional, lokasi ini juga kerap menjadi lokasi upacara, peringatan hari-hari bersejarah, serta arena bermain bola keranjang.
Menurut Intje Mawar, pada masa kepemimpinan Wali Kota Palu periode 1978-1986, Kiesman Abdullah, dilakukan penataan lapangan ini, dengan pembangunan air mancur di tengah lokasi lapangan.
Pada Juni 2003, saat Pemerintah Kota Palu hendak mengubah nama Lapangan Nasional menjadi Taman Nasional, gelombang protes pun datang, salah satunya dari Intje Mawar. Menurut Intje Mawar, sebagaimana dikutip dari Nuansa Pos edisi 17 Juni 2003, penamaan Taman Nasional merupakan bentuk pengaburan sejarah dan tidak menghargai nilai historis lokasi tersebut. Protes dari beragam komponen masyarakat ini membuat Pemkot Palu melalui Dinas Tata Kota dan Bangunan membongkar papan nama Taman Nasional yang sebelumnya dipasang di lokasi tersebut. Kepala Dinas Tata Kota dan Bangunan Kota Palu, Nawir Djiraudju, sebagaimana dikutip dari Nuansa Pos edisi 18 Juni 2003 menyebut, daripada menjadi polemik, lebih baik papan nama tersebut dibongkar. Pemasangan papan nama ini kata dia, berdasarkan Perda Kota Palu No.16 tahun 2001 tentang pemberian nama jalan, bangunan dan taman di Kota Palu.
Meskipun akhirnya papan nama ini tidak jadi terpasang, namun nama Taman Nasional itu tetap digunakan dan menjadi penanda lokasi tersebut hingga saat ini. Nama Taman Nasional sendiri, seakan mengubur ingatan masyarakat soal sejarah penamaan lokasi tersebut, mulai dari alun-alun, Lapangan Honbu, hingga Lapangan Nasional.