Selanjutnya pada 17 Agustus 2014 lalu, Pemerintah Kota Palu melakukan penebangan sebagian pohon di lokasi Taman Nasional tersebut, untuk pembuatan lahan parkir. Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Palu, Sumardi, sebagaimana dikutip dari Beritasatu pada 19 Agustus 2014 mengatakan, penebangan pohon di taman itu adalah demi keamanan pengunjung, karena pohon itu sudah mati.
Aksi penebangan pohon ini mendapat reaksi keras dari masyarakat. Aktivis yang tergabung dalam Forum Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH), Isnaeni Muhidin, diansir dari Beritasatu, mengecam keras aksi penebangan pohon itu. Dia mengatakan, Pemerintah Kota Palu sudah melanggar Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Menurutya, tidak ada alasan untuk menebang pohon di taman, apalagi hanya untuk jadi lahan parker.
Pemkot sendiri akhirnya membatalkan rencana pembuatan lahan parkir di taman tersebut. Pemkot kemudian membangun lahan bermain di arena seluas 8 x 5 meter. Adapun tempat parkiran dipindahkan di halaman Gedung Juang yang bersebelahan dengan taman.
Pada 2020, Pemerintah Kota Palu memulai renovasi Taman Nasional. Wali Kota Palu saat itu, Hidayat, yang didampingi Kepala Dinas PU Kota Palu, Iskandar Arsyad sebagaimana dilansir dari Metro Sulawesi 25 Juni 2020 mengatakan, salah satu tujuan renovasi tersebut adalah untuk membuka ruang-ruang ekspresi pecinta seni dan budaya di Kota Palu. Semua langkah ini kata Hidayat, merupakan bagian dari upaya mewujudkan visi misi Pemerintah Kota Palu yakni Palu Kota Jasa Berbudaya dan Beradat Dilandasi Iman dan Takwa. Taman ini direnovasi dengan melibatkan pihak PT Midi Utama Indonesia atau Alfamidi. Proyek yang disebut Revitalisasi Taman Nasional Kota Palu ini dikerjakan sejak Maret 2020 dan seharusnya berakhir pada September 2020. Namun, akibat sejumlah kendala, pengerjaan renovasi ini selesai pada 2021.
Pada awal 2022, taman ini kembali direnovasi oleh Pemkot Palu, dengan rencana untuk menjadikan lokasi itu sebagai pusat edukasi sejarah, dengan memasang prasasti berisi biografi raja-raja Palu. Rencana Pemkot Palu untuk memasang prasasti raja-raja Palu di lokasi Taman Nasional ini adalah sebuah upaya untuk mengenalkan sejarah lokal kepada masyarakat, yang perlu diapresiasi. Namun, jika melihat konteks historis lokasi tersebut sebagai kawasan kolonial, maka rencana itu tidak tepat. Prasasti raja-raja Palu seharusnya ditempatkan di lokasi di mana para raja bermukim, dimakamkan, atau pusat kerajaan, seperti di Lere, Siranindi, Besusu, dan lain-lain.
Terkait penataan lokasi taman tersebut, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aspek historis penamaan lokasi taman sebaiknya dikembalikan ke nama sebelumnya, yakni Lapangan Nasional atau Lapangan Honbu. Hal ini akan mengembalikan memori masyarakat Kota Palu tentang aspek historis lokasi tersebut. Kedua, alangkah lebih baik jika Pemkot Palu membuat diorama berisi linimasa perjalanan hsitoris lokasi tersebut atau linimasa penataan kawasan tersebut sebagai kawasan kota oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini akan melestarikan memori historis terkait lokasi dan kawasan di sekitar lokasi, yang sejatinya adalah kota kolonial Palu. ***