KOLONEDALE, MERCUSUAR – Sulawesi dikenal sebagai daerah yang sangat potensial bagi pengembangan industri kelapa sawit. Tanahnya subur. Lahannya luas. Iklimnya pun cocok bagi tanaman asal Afrika yang dikenal membutuhkan curah hujan plus terpaan sinar matahari yang cukup ini.
Potensi itu menjadikan Sulawesi ibarat tanah harapan. Pemerintah bahkan menempatkannya sebagai salah satu kawasan program transmigrasi. Perantau atau transmigran mandiri pun banyak yang mencoba keberuntungan di sini. Kombinasi antara potensi wilayah, beragam keunggulan budidaya kelapa sawit plus masyarakat yang gigih menjadikan kawasan-kawasan seperti Sulawesi ini tumbuh dan berkembang. Termasuk yang terjadi di Desa Tontowea, Petasia Barat, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Simak saja kesaksian Ni Luh Sumadi, perantau asal Bali yang bertugas dan mengabdi sebagai pekerja bidang kesehatan sejak 1996. Bidan ini cukup lengkap menyaksikan kemajuan yang terjadi di desa-desa. Ia berkesimpulan, perubahan positif itu salah satunya berkat perkebunan kelapa sawit.
“Dulu awal ke sini, belum ada kendaraan, jalanan masih jelek, mobil gak bisa masuk,” katanya menceritakan pengalaman pertama menetap di desa yang kala itu masih bagian dari Kabupaten Poso, sebelum pemekaran yang kemudian menjadi Morowali Utara.
Setiap hari, menurutnya, warga harus jalan kaki sekitar 2km jika ingin ke satu tempat atau desa lain. Situasi berubah drastis. Infrastruktur jalan banyak dibangun. Mobil, motor pun mulai ramai berlalu lalang. Tetangga juga sudah banyak yang memiliki kendaraan. Ni Luh nyaris tak mengenali daerahnya. Sepengetahuannya, perubahan dan kemajuan wilayahnya itu terjadi setelah perusahaan perkebunan kelapa sawit hadir.
Kesimpulan itu ia petik karena di sekitar tempat tinggalnya memang beroperasi sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Sawit Jaya Abadi (SJA).
Ni Luh begitu antusias membandingkan perbedaan Desa Tontowea yang dulu ia kenali dan sekarang. Desa dan puskesmas tempatnya bekerja, misalnya, kini sudah dibina perusahaan perkebunan sawit SJA. Ia mengenang betapa miris pelayanan kesehatan sebelumnya. Dulu, katanya, jika ada pasien hamil yang harus dirujuk, harus digotong menggunakan tandu.
“Karena jalanan memang sama sekali gak bisa dilalui kendaraan. Masih berupa tanah,” ujar Ni Luh.
Selain infrastruktur, menurut Ni Luh, keadaan masyarakat juga jauh berbeda. Sekarang pola pikir masyarakat jauh lebih berkembang. Lagi-lagi, salah satunya berkat kontribusi perusahaan.
“Wilayah kami jadi binaan PT SJA sekarang. Bantuan insentif kader rutin diberikan, termasuk bantuan melalui program makanan tambahan (PMT) untuk ibu hamil, bayi dan balita juga ada, untuk mendukung program pemerintah mencegah stunting,” jelas bidan Ni Luh bersemangat.
Hal tersebut dibenarkan oleh Community Development Area Manager Sulawesi, I Gede Oka Arimbawa. Ia mengatakan seluruh anak usaha Astra Agro di Sulawesi berkomitmen menjalankan bisnis yang berkelanjutan dan mensejahterakan masyarakat.
“Perusahaan sejak awal pendirian kebun senantiasa melibatkan masyarakat setempat dalam proses bisnisnya,” kata Oka.
Kebijakan keberlanjutan ini lanjut Oka, membuka peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat di daerah operasional perusahaan, dan menjadi penggerak perekonomian daerah, sekaligus membangun ikatan emosional yang positif dengan masyarakat berdasarkan kepentingan dan cita-cita yang sama dalam memajukan wilayah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. */MAN