Oleh: Muhammad Patri Arifin (Dosen UIN Datokarama Palu / Pengasuh Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu)
Dalam kehidupan, seringkali kita terpaku pada gambaran penyakit sebagai musuh utama. Ironisnya, ketika yang paling mematikan sebenarnya tak terukur oleh skala laboratorium atau instrumen medis. Kehilangan harapan, adalah gelombang gelap yang mampu merenggut nyawa dari dalam diri melebihi efek tsunami.
Penyakit bukanlah satu-satunya ancaman kehidupan dan kesejahteraan manusia, melainkan ketiadaan harapan justru menjadi pemicu lahirnya tekanan jiwa terhadap keberlanjutan hidup seseorang. Menciptakan kekosongan emosional yang berujung pada kehilangan motivasi untuk melangkah maju.
Dunia kedokteran yang bergantung pada teknologi dan ilmu pengetahuan, membuat kita cenderung lupa bahwa di balik seragam putih dan monitor elektronik, ada manusia dengan hati yang dapat seketika rapuh. Viktor Frankl dengan teori eksistensialisnya (Man’s Search for Meaning) menggarisbawahi harapan sebagai elemen kunci dalam mencari makna hidup. Bahwa dalam menghadapi penyakit dan tantangan kesehatan, harapan memiliki kekuatan dalam memberikan dukungan emosional, mental, dan spiritual.
Dalam konteks ini, harapan dianggap sebagai kekuatan yang mendorong kesembuhan dan pemulihan. Sejalan dengan teori Psikologi Positif yang dikembangkan oleh Martin Seligman (The Science of Optimism and Hope), harapan diartikulasikan sebagai keyakinan bahwa upaya individu dapat mempengaruhi hasil yang diinginkan. Dalam pandangan Seligman, kesejahteraan bukan hanya sebatas kenikmatan atau kepuasan pribadi, tetapi melibatkan pencapaian tujuan, pengembangan potensi, dan kontribusi terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
Seorang dokter saat melakukan tindakan medis sederhana hingga gawat darurat, selalu percaya peran harapan dalam bait doa yang dipesankan kepada keluarga pasien {QS. Al-Insyirah (94): 8}, mencerminkan keyakinannya pada kekuatan yang lebih tinggi dari tindakan medis.
Meskipun ilmu pengetahuan telah membawa kita ke puncak kemajuan, kita masih menemukan ketidakpastian yang hanya dapat dijawab melalui harapan dan keyakinan. Sebuah doa, seperti benang tipis menghubungkan sesuatu yang konkret dan abstrak, sekaligus menyadarkan bahwa kita tak sepenuhnya memiliki kendali {QS. Al-Baqarah (2): 186}.
Sejatinya, kesehatan bukan hanya tentang organ tubuh yang berfungsi dengan baik. Kehidupan bukan hanya dinilai dari hasil tes atau grafik medis. Ada dimensi lain yang mungkin lebih penting, yaitu dimensi kejiwaan dan harapan. Saat tubuh lemah, harapan menjadi pendorong untuk tetap berjuang, melebihi batas yang diberikan oleh ilmu pengetahuan {QS. Ali ‘Imran (3): 139}
Disadari atau tidak, penyakit paling mematikan tidak hanya menghuni tubuh kita, melainkan juga menyusup ke dalam jiwa. Dalam momen ketika obat dan prosedur medis kurang memadai, harapan adalah obat yang tak tergantikan. Harapan adalah sinar terang yang membimbing kita melalui lorong gelap ketidakpastian, melebihi batas-batas yang tercipta oleh hasil tes dan diagnosis.
Dalam dunia yang penuh dengan instrumen dan teknologi, seharusnya kita menyadari bahwa inti dari perjuangan melawan penyakit adalah api yang menyala di dalam hati. Harapan, seolah menjadi doa yang tak terucapkan, mengajarkan kita bahwa kehidupan lebih dari sekadar biologi dan kimia.
Seperti peran harapan dalam konteks kesehatan, pemilihan presiden di Indonesia juga melibatkan dimensi harapan yang mendalam. Di tengah riuhnya politik dan persaingan, terkadang kita cenderung terfokus pada platform, kebijakan, dan retorika tanpa mengingat esensi dari harapan yang diamanatkan pada pemimpin yang akan dipilih.
Harus dipahami bahwa harapan dalam konteks pemilihan presiden bukanlah sekadar harapan personal, melainkan refleksi dari aspirasi rakyat. Indonesia, dengan keberagaman sosial, budaya, dan ekonomi, memiliki harapan yang beragam pula. Harapan untuk kemakmuran, keadilan, dan stabilitas tidak hanya berasal dari satu kelompok atau lapisan masyarakat, tetapi dari berbagai lapisan yang bersatu dalam harapan bersama.
Seperti dokter yang berdoa setelah melakukan tindakan medis, rakyat Indonesia meletakkan harapannya pada pemimpin yang dipilih untuk mengarahkan negara ke arah yang lebih baik. Harapan ini bukan hanya sekadar keinginan untuk perubahan materil, tetapi juga harapan akan moralitas, kepemimpinan yang adil, dan kesejahteraan bersama.
Pemilihan presiden tidak sekadar pemilihan figur politik. Namun juga penentu arah masa depan bagi bangsa. Harapan bahwa pemimpin terpilih akan mampu memimpin dengan bijak, menangani tantangan dengan keberanian, serta mewujudkan visi bersama untuk Indonesia.
Namun, sebagaimana harapan dalam dunia medis, harapan politik juga dapat rapuh. Terkadang, dalam kegagalan pemimpin untuk memenuhi ekspektasi, harapan bisa luntur dan meninggalkan luka di hati rakyat. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin yang terpilih untuk menghormati dan mempertahankan kepercayaan yang diberikan oleh rakyat.
Pemilihan presiden adalah momentum di mana rakyat dan pemimpin bersama-sama membina harapan. Ini adalah panggung di mana visi dan rencana bersama dipercayakan untuk membentuk masa depan yang lebih baik. Sebagai negara yang terus berjuang melawan berbagai tantangan, “keberlanjutan” harapan, “perbaikan” hingga “perubahan” pesimisme menuju optimisme dalam pemilihan presiden adalah kunci untuk mencapai kemajuan dan keberhasilan bersama.
Harapan bukan hanya rangkaian kata yang kosong, tetapi merupakan dorongan kuat dalam menciptakan perubahan positif. Pemilihan presiden bukan tentang pemenang dan pecundang, namun tentang kekuatan harapan yang terus tumbuh dalam setiap individu dan seluruh bangsa. Pemilihan presiden menjadi peristiwa yang melebihi tingkat kepentingan politik biasa, sebab ia menjadi platform di mana harapan Indonesia dapat terus berkembang dan diwariskan kepada generasi mendatang.