Oleh: Fauzia Noorchaliza
Bukan berlebihan jika Raja Ampat dijuluki sebagai surga terakhir di bumi yang masih belum sepenuhnya terjamah. Raja Ampat yang terletak tepat di jantung Segitiga Terumbu Karang Dunia, menjadi detak bagi lebih dari 1.300 spesies ikan, 700 jenis moluska, dan 537 spesies karang.
Tingginya biodiversitas di Raja Ampat membuat surga di ujung timur Indonesia itu harus menjadi prioritas global untuk dilindungi.
Namun, di balik keindahan dan kekayaannya, Raja Ampat diam-diam menjadi area medan pertempuran antara dua kekuatan ekonomi dengan konsep yang bertolak belakang: Blue Economy dan Brown Economy. Pertarungan ini bukan hanya memperdebatkan soal strategi pembangunan tapi juga mengenai arah kompas keberlanjutan masa depan. Apakah akan memilih jalan keberlanjutan menjaga kehidupan di dalamnya dan mempertahankan jantung itu berdetak? Atau memilih janji pertumbuhan cepat dengan mengorbankan surga terakhir di bumi?.
Blue Economy adalah konsep pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi yang menitikberatkan pada pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan. Pandangan Blue Economy pertama kali dipopulerkan oleh Gunter Pauli, ekonom asal Belgia melalui bukunya yang berjudul “The Blue Economy: 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs” yang diterbitkan tahun 2010.
Melalui buku tersebut Pauli menjelaskan bahwa Blue Economy menggabungkan antara inovasi, efisiensi sumber daya, dan keberlanjutan. Berbeda dengan Green Economy, Blue Economy menekankan bahwa solusi untuk pertumbuhan ekonomi harus sebagaimana alam bekerja. Tanpa limbah, tanpa polusi, penguatan komunitas dan dampak sosial yang luas.
Konsep pembangunan Blue Economy memperhatikan etika terhadap lingkungan dengan pandangan ekosentris atau bertumpu pada keseimbangan alam. Pendapatan dari sektor ini menghasilkan keuntungan jangka panjang baik dari segi ekonomi, komunitas sosial, hingga membentuk sebuah sistem yang menunjang kebutuhan hidup manusia seperti air bersih, udara minim polusi, hingga ekosistem yang terjaga. Berdasarkan isu pemanasan iklim global, pendekatan pembangunan ekonomi dengan konsep ini semakin relevan dan mendesak.
Berkembang Pesat di Abad ke-20
Di sisi lain, konsep pembangunan dengan prinsip Brown Economy adalah model yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam secara intensif. Ciri khas konsep pembangunan ini seperti pembukaan lahan tambang, deforestasi hutan, hingga pembangunan infrastruktur skala besar. Di Papua, pendekatan ini cukup mendominasi.
Secara filosofis, Brown Economy menempatkan tujuan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. Untuk memaksimalkan keuntungan, pembangunan ditekankan pada produktivitas, efisiensi, dan eksploitasi sumber daya alam. Paradigma ini berkembang pesat di abad ke-20, kelahiran revolusi industri 2.0 menjadi titik balik peradaban, saat manusia berlomba membangun mesin-mesin dan produksi massal. Indikator keberhasilan pembangunan Brown Economydiukur dari Gross Domestic Product (GDP) tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang secara ekologis.
Yang sedang terjadi di Raja Ampat, konsep Brown Economy menawarkan penciptaan lapangan kerja dan investasi besar melalui rencana tambang nikel. Selain itu, pembangunan pelabuhan besar, dan ekspansi industri ekstraktif lainnya. Tawaran menggiurkan yang membawa risiko besar terhadap kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan. Harga yang harus dibayar bukan hanya oleh Raja Ampat, tapi juga oleh Indonesia, adalah kehilangan jantung biodiversitas yang menjadi rumah bagi keragaman hayati, mata pencaharian masyarakat, dan identitas yang selama ini melekat. Tentu keuntungan ekonomis yang dijanjikan, tidak sepadan.
Raja Ampat seketika menjadi medan pertempuran sengit antara dua paradigma yang saling bertolak belakang. Mempertaruhkan ekosistem atau eksploitasi yang akan berkelanjutan. Pertarungan ini bukan hanya soal kebijakan, tapi juga pembentukan narasi dan persepsi siapa yang lebih visioner.
Pemenang di medan pertempuran ini, adalah pilihan kita. Jika memilih Blue Economy, maka kita akan menjemput masa depan yang lestari dan memberi harapan untuk ekosistem yang baik yang akan diwariskan pada generasi selanjutnya. Namun jika memilih Brown Economy, maka kita akan mempertaruhkan masa depan dengan ketidakpastian serta kehilangan warisan alam yang tak terpulihkan. ***
Penulis adalah Ketum Kohati HMI Cabang Bogor, Wakil Ketua Indonesia Geopark Youth Forum, Mahasiswa Biosains Hewan IPB