Oleh: Ibnu Mundzir
Diantara hal yang membuat kita gampang marah, insecure ataupun tidak nyaman adalah, apabila ekspektasi kita tidak berkesesuaian dengan kondisi nyata yang diperolah.
Mimpi (dream) itu beda dengan visi (vision), kalau mimpi lebih kepada khayali tanpa perlu metodologi, sedangkan visi adalah pengambaran besar terhadap ideal yang ingin dicapai, tentu dengan perangkat metodologi yang tersusun rapi.
Menghendaki agar orang suka dengan kita seutuhnya, itu adalah mimpi, namun berupaya agar bisa menghilangkan kesusahan orang lain dalam mewujudkan kesejahteraan, itu adalah visi.
Semua orang tua, tentulah punya mimpi terhadap anaknya, tapi tidak semua, merasa perlu memiliki visi terhadap anaknya.
Padahal semua para nabi, bekerja keras untuk menanamkan visi pada anak dan atau generasi penerus mereka, bukan menanamkan mimpi, pertanyaan wasiat saat akan meninggalpun mengambarkan itu “siapa yang akan engkau sembah jika aku sudah tidak ada ?” Adalah contoh pertanyaan Nabi Ayub pada anaknya, yang menegaskan visi ketauhidan yang wajib terus tersambung antar generasi.
Sebab Nabi Ayub mengetahui benar jika visi ketauhidan itu terpatri secara sahih pada generasi setelahnya, maka tidak ada permasahan yang besar, sebab generasi setelahnya sudah bisa mengakses langsung pola pertolongan Tuhannya, secara directly.
Setiap orang punya potensi, dan sebagai guru, mentor atau pimpinan, sesunguhnya harus bisa melihat setiap detail potensi tersebut pada murid, bawahan atau mantenya, sehingga memperbandingkan pencapaian setiap orang dalam ukuran standar, menurutku adalah bentuk absurditas sejak dari konsep.
Satu satunya pencapaian terbaik seseorang adalah, apabila dia bisa mencapai hal yang terbaik dalam dimensi waktu internalnya, maksudnya seseorang hanya bisa bertanding dengan dirinya sendirinya, yaitu hari ini, harus lebih baik, dibanding hari kemarin dan hari esok harus harus lebih baik dibanding hari ini.
Pemahaman ini hanya bisa dipahami oleh orang yang lebih mengutamakan proses sebagai hal penting ketimbang hasil, biarkanlah orang berproses dengan jalurnya masing masing dan jangan saliang diperbandingkan, sebab setiap anak atau orang itu spesifik.
Dalam birokrasi pun seperti itu, setiap dinas atau badan itu spesifik, sesuai mandat pembentukannya, mereka punya kekhasan spesifik, sehingga menerapkan ‘pertandingan’ inovasi antar dinas, menurutku itu bentuk absurditas juga, sebab inovasi itu, diarahkan pada kemampuan memberikan pelayana yang berkualitas pada masyarakat, jadi yang menilai itu masyarakat.
Bukan pada sekadar penamaan program yang disingkat aneh aneh namun tidak memberikan hasil terlalu maksimal dirasakan oleh masyarakat, yang sesunguhnya hanya berharap, mereka bisa mendapatkan pelayanan yang jauh lebih murah, lebih mudah dan lebih cepat dan satu lagi….tidak dikerjai dengan cara dipalaki alias dikorupsi..wallahu alam.***
Penulis adalah Birokrat Muda/Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu