Oleh: Ahmad Imam Abdullah (Dosen Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Tadulako)
Kota Palu merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah. Kota ini memiliki luas wilayah ± 395.1 km2, dengan jumlah penduduk 381,572 jiwa pada tahun 2022 dari BPS Kota Palu. Berdasarkan angka tersebut, sekitar 965.76 jiwa penduduk Kota Palu menempati area 1 km2. Angka demografi ini akan terus tumbuh dari waktu ke waktu, sehingga nilai kerapatan tersebut diperkirakan akan lebih dari 1,000 jiwa pada area 1 km2. Terlebih Kota Palu merupakan ibukota sebagai pusat perekenomian dan pembangunan daerah, memiliki daya tarik secara kearifan lokal dan geografis, tentunya hal-hal tersebut dan lain sebagainya akan memberikan impact penambahan jumlah penduduk yang akan berdomisili di kota ini.
Faktor Kendala (Bencana Geologi)
Suatu keawajaran bahwa ibukota di daerah manapun juga akan menunjukan trend kenaikan jumlah penduduk. Namun, hal yang dikhawatirkan di Kota Palu walaupun memiliki luas wilayah yang luas, tetapi Kota Palu memiliki ruang yang terbatas untuk dimanfaatkan, khususnya pemanfaatan ruang dengan peruntukan tertentu. Keterbatasan ruang Kota Palu terutama disebabkan oleh ancaman bahaya geologi seperti retakan permukaan dari sesar aktif Palu-Koro, guncangan gempabumi, gerakan tanah, dan efek likuifaksi, kemudian bahaya pantai land subsidence, coastal landslide, tsunami, dan abrasi, serta bahaya hidrometeorologi yaitu banjir genangan, banjir cepat, dan banjir pantai. Semua jenis ancaman bahaya alam tersebut, memiliki besaran yang tinggi dan jangkauan ruang yang luas yang hampir menutupi semua wilayah di Kota Palu, baik di pedataran, perbukitan dan pegunungan, maupun di kawasan sempadan sungai dan pantai. Hal ini terbukti pada tanggal 28 September 2018, bermula dari pergeseran sesar Palu-Koro dan gempabumi, kemudian diikuti oleh fenomena turunan lainnya yang mengakibatkan bencana bagi daerah Palu dan sekitarnya. Pemerintah dan para peneliti telah mendelineasi dan mengukur besaran bahaya tersebut, bahwa terdapat ruang zona merah sebagai area dengan kelas bahaya yang tinggi dan dilarang untuk dimanfaatkan dan/atau dapat dimanfaatkan dengan persyaratan tertentu. Dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dijelaskan bahwa kawasan lindung geologi merupakan bagian dari kawasan lindung nasional. Pada pasal 53 dijelaskan kawasan rawan bencana merupakan bagian dari kawasan lindung geologi.
Keterbatasan ruang berikutnya berdasarkan fungsi kawasan yang telah ditetapkan dari amanat Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan-peraturan turunan lainya. Terutama kawasan lindung yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup, diperinci pada Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Selanjutnya, beberapa kawasan juga sudah digunakan dari usaha dan/atau kegiatan yang telah beroperasi, kemungkinan akan memberikan perosalan dampak lingkungan hidup. Sebagai contoh, persoalan debu dan kebisingan dari aktivitas penambangan, pencemaran sungai, limbah industri, dan lain sebagainya. Usaha dan/atau kegiatan ini berada pada bagian utara Kota Palu untuk kawasan industri, dan bagian pematang barat dan pematang timur adalah kegiatan pertambangan. Bagaimanapun persoalan pencemaran dan kerusakan lingkungan juga dapat memicu terjadinya bencana yang semakin membatasi ruang untuk dimanfaatkan.
Pola pemukiman di Kota Palu cenderung mengikuti pola jalan dan berada pada pedataran. Sebelum terjadinya tsunami pada tahun 2018, pemukiman juga memadati bagian pantai. Sebagian besar pemukiman juga menempati wilayah pedataran, sangat jarang yang menempati morfologi pegunungan atau pada kemiringan lereng > 30%, karena pada bagian ini juga rentan akan gerakan tanah. Akan tetapi, daratan Palu yang tersusun oleh batuan sedimen dari Formasi Molassa, Endapan Pantai dan Endapan Sungai, yang menempati daerah cekungan airtanah juga akan selalu terancam oleh efek likuifaksi saat terjadi guncangan gempabumi yang kuat. Ini adalah satu contoh kendala, hal yang serba salah dalam pemanfaatan ruang di Kota Palu, karena adanya eksisting ancaman bahaya geologi maupun dari faktor pembatasan kawasan dan lingkungan fisik.
Faktor Pendukung (Sumberdaya Geologi)
Sulit untuk menilai ruang yang layak untuk dimanfaatkan dan dioraganisir di Kota Palu, mengingat adanya faktor kendala yang tinggi di daerah ini. Tetapi Kota Palu juga memiliki faktor pendukung, kota ini memiliki sumberdaya geologi, seperti prospek sumberdaya mineral, bahan galian batuan, kelimpahan air, baik di bawah permukaan yaitu airtanah sebagai area Cekungan Airtanah Palu, air permukaan yang termasuk Daerah Aliran Sungai Palu. Prospek bahan galian dan sumberdaya air menjadi faktor pendukung dari perspektif geologi lingkungan untuk menunjang perekonomian daerah dan kehidupan masyarakat Kota Palu. Jadi, faktor pendukung menjadi adalah salah satu pertimbangan bahwa masih ada ruang yang leluasa untuk dimanfaatkan di Kota Palu. Sekalipun ancaman bahaya alam begitu nyata, namun dengan adanya upaya pengurangan risiko dan penataan ruang berbasis bencana, maka upaya ini dapat membantu menaikan rating faktor pendukung.
Solusi Geologi Lingkungan bagi Kota Palu
Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 5 ayat (2) adalah landasan hukum bagi penataan lingkungan fisik (geologi). Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan yang terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Hal ini berkaitan dengan Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dijelaskan pada pasal 35 huruf f mengenai pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dan dalam pasal 38 huruf d tentang penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup. Untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut metodologi geologi lingkungan dapat diterapkan yang memberikan informasi mengenai karakteristik lingkungan geologi suatu wilayah untuk penataan ruang dalam rangka pengembangan wilayah dan pengelolaan lingkungan hidup. Kajian dilakukan secara komprehensif dari keterpaduan aspek sumberdaya geologi sebagai faktor pendukung dan aspek bencana geologi sebagai faktor kendala. Penyusunan informasi geologi lingkungan dilakukan dari peta tematik geologi maupun peta non-geologi, masing-masing parameter akan diberikan bobot/skor secara kuantitatif dan penilaian para ahli kemudian ditumpang susun (overlay) melalui analisis sistem informasi geografis (SIG). Dengan begitu akan diperoleh ukuran tingkat keleluasaan yang akan menggambarkan peringkat wilayah yang dapat dikembangkan sebagai kawasan budidaya, atau kawasan tertentu. Arti leluasa digunakan untuk pemilahan penggunaan lahan dan mudah dalam pengorganisasian ruang. Dengan tersedianya data dan informasi geologi lingkungan, dan dapat pula didampingi dengan hasil kajian risiko bencana, ini menjadi dasar yang kuat sebagai bahan masukan dan sekaligus evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu. Dari proses ini, diharapkan pembangunan di Kota Palu dapat berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, yang sadar sebagai daerah yang memiliki kelas ancaman bahaya geologi yang tinggi.