Islam, Kesatuan Nilai dalam Keberagaman Manusia

Oleh : Salihudin ( Warga Kota Palu, tinggal di Palupi)

Prof. Dr. Zainal Abidin, mantan Rektor IAIN Palu (sekarang UIN Datokarama) Palu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Tengah, mengirimkan kepada saya flyer yg berisi ungkapan singkat namun sarat makna: “Islam itu satu karena berasal dari Yang Maha Esa. Tapi ketika Islam itu sampai kepada manusia menjadi beragam.” Ucapan ini adalah cerminan dari kedalaman pemikiran beliau dalam menyikapi dinamika keberagaman dalam tubuh umat Islam itu sendiri.

Meski kalimat tersebut terlihat sederhana, namun mengandung pandangan filosofis dan sosiologis yang mendalam.Dalam konteks dakwah, kalimat-kalimat seperti itu penting untuk menjadi point of view, sudut pandang utama yg menuntun kepada pemahaman yang lebih luas.

Karena itu, seperti juga dikatakan oleh Ali Syariati, seorang pemikir Islam asal Iran, “Islam bukan hanya sistem kepercayaan, tapi juga sistem kehidupan yang menjelma dalam berbagai bentuk budaya, sosial, dan politik.” Maka tidak mengherankan jika nilai-nilai Islam yang satu dan suci, ketika masuk dalam ruang sosial manusia, akan menjelma dalam ragam penafsiran dan ekspresi.

******

Islam sebagai agama wahyu diturunkan dari Allah Yang Maha Esa yang bersifat absolut dan tidak terbantahkan. Nilainya universal, transenden, dan tidak berubah sepanjang masa. Dalam Al-Qur’an (Ali Imran: 19) disebutkan, “Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam.” Pernyataan ini menegaskan bahwa ajaran Islam sebagai sistem nilai adalah tunggal dan murni.

Namun, ketika nilai-nilai itu dihadapkan pada realitas kehidupan manusia, terjadi proses re-contextualization, yakni penyesuaian ajaran dengan konteks sosiologis, budaya, dan sejarah manusia. Di sinilah terjadi pluralitas dalam pemahaman dan pelaksanaan ajaran Islam tanpa mengurangi esensi dari kebenaran wahyu itu sendiri.

*****

Keberagaman dlm praktik Islam banyak dipengaruhi oleh interaksi ajaran tersebut dengan budaya lokal. Clifford Geertz dalam karya terkenalnya “Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia” (1968) menyebut bahwa ekspresi Islam di masyarakat sangat tergantung pada tradisi dan nilai lokal yang berkembang. Misalnya, Islam di Jawa berbeda dalam ekspresi simbolik dan ritual dibandingkan dengan Islam di Maroko, meskipun keduanya bersumber dari ajaran yang sama.

Geertz membagi bentuk Islam ke dalam tiga kategori: Islam santri (yang ortodoks), Islam abangan (yang sinkretis dengan tradisi lokal), dan Islam priyayi (yang lebih filosofis dan mistik).

Klasifikasi ini memang mendapat kritik, tetapi menunjukkan bahwa keberagaman itu nyata dan dapat dijelaskan secara sosiologis.

Dalam ranah epistemologis, Al-Qur’an sebagai teks ilahiyah adalah tetap, namun penafsiran atasnya bersifat dinamis. Karena itu, Islam berkembang menjadi mazhab-mazhab fiqih, aliran teologi, dan orientasi pemikiran yang beragam.

Seperti diungkap oleh Fazlur Rahman, pemikir Islam modern dari Pakistan, “Islam is one, but its interpretations are plural due to historical and intellectual factors.”

Fazlur Rahman menekankan pentingnya double movement theory, yaitu gerak ganda dari teks menuju konteks dan kembali ke prinsip-prinsip etika dasar. Dengan demikian, keberagaman bukanlah penyimpangan, tetapi keniscayaan dalam upaya memahami teks ilahiyah dalam lintas ruang dan waktu.

Islam tidak memandang keberagaman sebagai ancaman. Dalam Al-Qur’an (Al-Hujurat: 13) ditegaskan: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” Ayat ini meneguhkan bahwa pluralitas adalah ciptaan Tuhan, bukan deviasi dari kesatuan.

Karen Armstrong, penulis dan sejarawan agama, menyatakan dalam bukunya “The Battle for God” bahwa agama-agama besar, termasuk Islam, memiliki kecenderungan untuk berevolusi dalam lintas sejarah yang berbeda, tetapi tetap menjaga nilai-nilai spiritualitas yang mendalam. Ia menulis, “The essence of religion is not in uniformity but in the pursuit of the sacred.” Maka, keanekaragaman dalam Islam sejatinya adalah bentuk pencarian akan nilai-nilai luhur yg terkandung dalam ajaran ilahiyah.

*****

Pandangan Prof. Dr. Zainal Abidin yg juga Ketua MUI Kota Palu ini bukan sekadar refleksi pribadi, tetapi sebuah ajakan untuk melihat realitas keislaman dengan lebih arif. Islam memang satu dari sisi sumber dan nilai-nilainya, tetapi ketika bersentuhan dengan dunia manusia yang kompleks dan plural, ia menjadi beragam. Keberagaman ini bukan kelemahan, tetapi kekayaan. Asalkan dijaga dalam koridor nilai utama Islam—tauhid, keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan—keberagaman akan menjadi rahmat, bukan sumber konflik.

Dalam konteks dakwah dan kehidupan beragama, tugas kita bukan menghapus keberagaman, tetapi menuntun keberagaman itu menuju titik temu (kalimatun sawwa) yang memuliakan semua. Sebagaimana kata Prof. Zainal, Islam itu satu. Tapi manusia, dengan segala keterbatasannya, menjadikannya beragam. Dan dari keragaman itu, semoga kita tetap menemukan kesatuan dalam nilai dan tujuan.

Pos terkait