Oleh: Belona Danduru Salurante
Di harian ini, Selasa, 1 Juli 2025, menurunkan berita berjudul, “Sulteng Masih Rawan Peredaran Narkoba”. Salah satu pemberitaannya menyebutkan, “Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah memusnahkan barang bukti narkotika jenis sabu-sabu seberat 48 kg, di halaman Mapolda, Senin (30/6/2025). Puluhan kilo sabu-sabu hasil tangkapan berasal dari tiga lokasi berbeda, yakni di Kelurahan Besusu, Watusampu, dan Kelurahan Kabonga, Kabupaten Kabupaten Donggala.”
Tentu kita dibuat tersentak dengan pemberitaan seperti ini. Apalagi dalam berita itu, Kapolda Sulteng menyampaikan, bahwa letak geografis provinsi yang strategis, serta masih minimnya kesadaran masyarakat akan bahaya narkoba, membuat wilayah ini rawan menjadi pasar narkotika.
Fenomena Narkoba
Mungkin suatu ketika, anda melihat sang anak yang tadinya gembira, suka bergaul dan periang, kini menjadi pendiam dan berubah tingkah laku. Ia dulunya aktif, sehat dan gesit, akhirnya menjadi lamban dan loyo. Kalau tadinya percaya diri dan sabar, kini berubah menjadi tertutup, penuh curiga dan emosi. Berhati-hatilah, mungkin si buah hati telah ikut dalam penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (Narkoba).
Pelan tapi pasti, narkoba akan melibas siapa saja yang membutuhkannya. Tidak mengenal kelas, apakah ia selebriti, kaya raya, atau pelajar. Bahkan, yang hidup di bawah garis kemiskinan pun, digilasnya. Bahkan modusnya telah menyasar anak-anak SD. Misalnya yang pernah diberitakan, 4 anak SD di daerah kota Bambu Jakarta Barat mengaku pusing setelah mengkonsumsi permen dan tahu tempe yang diberikan secara gratis oleh seorang wanita. Ketika diperiksa, ternyata air seni mereka mengandung usur narkotika.
Cara mereka seperti di atas, tentu sangatlah kejam. Demi meraup uang yang sebesar-besarnya, mereka begitu tega menghancurkan masa depan anak-anak penerus bangsa. Dan cara-cara seperti ini, mengingatkan kita pada kasus Perang Candu di Cina. Kasus yang terjadi pada tahun 1839-1842 itu, adalah contoh, bagaimana Inggris melaksanakan strategi dengan cara memaksakan perdagangan opium ke Cina. Alhasil, Cina sempat lumpuh, karena bala tentara termasuk generasi mudanya, banyak yang kecanduan opium. Ketika perang terjadi, Cina kalah. Dan Inggris memaksa mereka untuk menandatangani Perjanjian Nanking (yang sangat merugikan Cina sendiri).
Menatap Kota Palu
Indonesia yang terletak di posisi silang di antara tiga benua, tentu tak luput dari gelombang peredaran narkoba. Khususnya kita di Sulawesi Tengah, tentu merupakan wilayah terbuka (baik dari segi tingginya mobilitas penduduk, maupun orang asing yang datang untuk berwisata). Posisi seperti ini, sekali lagi, adalah potensi yang sangat besar bagi penyelundupan dan peredaran narkoba. Jadi, apa yang dikatakan oleh Kapolda Sulteng (seperti dikutip di atas), bahwa salah satu alasan kita rawan dengan pasar narkotika, karena letak geografis provinsi ini strategis, itu benar adanya.
Contoh kasus saja. Palu adalah kota yang memiliki hubungan darat yang sangat baik dan lancar dengan wilayah propinsi lainnya. Kebanyakan masyarakat yang berada di sekitar wilayah ini, menggunakan jasa pengiriman barang melalui sopir angkutan darat dari pada melalui jasa pengiriman barang (courier service).
Tentu dengan melalui angkutan darat, pengiriman narkoba dari suatu wilayah ke wilayah lain, oleh aparat keamanan, sangat terbatas jangkauan pemeriksaannya. Ini sungguh jauh berbeda bila pengiriman suatu barang, dilakukan melalui laut dan udara di mana pemeriksaannya harus melalui alat detektor.
Penutup
Tentu kita mengapresiasi aparat penegak hukum di Sulawesi Tengah (termasuk BNN Sulteng), telah berusaha memberantas kejahatan narkoba. Apakah itu dalam bentuk penangkapan penyelundup, pengedar atau para pecandunya sendiri.
Namun sayang, di kalangan masyarakat, masih ada juga asumsi, bahwa persoalan penanggulangan penyakit masyarakat ini, adalah urusan pemerintah dan polisi. Padahal, penanggualangan tersebut juga tanggung jawab seluruh masyarakat, termasuk lembaga sosial/keagamaan, dan para cendikiawan di perguruan tinggi. Dan yang tak kalah penting dari semua itu adalah, peranan keluarga itu sendiri.
Di akhir tulisan ini, penulis ingin mengutip buku karya Karni Ilyas, berjudul: “Catatan Hukum II” (Pustaka Sinar Harapan: 2000). Salah satu di dalamya, ditulis: “Tidak banyak diantara kita yang benar-benar cemas dengan berkembang biaknya perdagangan narkotika. Semua anggota masyarakat merasa narkotika bukanlah urusannya selama anaknya yang dalam pendangannya masih baik-baik saja.
Selanjutnya dikatakan: “Mereka baru tersentak kaget, begitu menghadapi kenyataan, si Buyung atau si Upik sudah menjadi pencandu akut yang tidak mungkin disembuhkan lagi. Kita semua lengah. Ketika krisis terjadi dan reformasi berjalan, semua orang hanya memikirkan dan berbicara politik. LSM-LSM-pun lebih banyak memusatkan perhatian ke bidang politik, dan bisa dihitung yang memikirkan masalah narkoba. Kita lebih asyik meributkan KKN-nya para pejabat yang memang penting dipersoalkan, ketimbang narkoba yang langsung mengancam anak-anak kita“.
Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu