“Seorang wartawan profesional harus memiliki kompetensi. Itu dibuktikan dengan uji kompetensi,” ujar Pak MG kala itu.
Menurut Pak MG, kompetensi menjadi proteksi profesi wartawan dari orang-orang yang menyalahgunakan kerja-kerja jurnalistik di luar koridor yang sudah ditentukan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Wartawan yang profesional kata Pak MG, akan memproduksi karya-karya jurnalistik yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, sertifikat kompetensi yang diterima memang sudah sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya sebagai seorang wartawan.
Menurut Pak MG, kompetensi didasarkan pada tiga hal, yakni kesadaran, perilaku, dan keterampilan atau skill. Wartawan profesional harus kompeten. Dia memiliki kesadaran terhadap hukum dan etik, memiliki keterampilan teknis yang dibutuhkan sebagai seorang wartawan, dan perilakunya berjalan di atas hukum, Kode Etik, dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan pers.
“Wartawan harus profesional dalam melakukan tugas jurnalistik. Meski dalam banyak kasus, UKW masih begitu asing oleh sebagian wartawan dan masyarakat secara umum. Seorang wartawan dalam melakukan peliputan di lapangan harus mengedepankan prinsip kerja jurnalistik universal dan profesional. Jurnalis yang profesional itu tunduk pada ketentuan Undang-Undang Pers dan undang-undang lainnya. Tidak kalah penting, seorang wartawan harus menaati Kode Etik Jurnalistik,” kata Pak MG.
Pak MG saat itu menitip pesan, sebagai lembaga profesi, PWI diminta terus mengampanyekan dan rutin menyelenggarakan UKW.
Di era keterbukaan dan kemajuan teknologi informasi, tuntutan terhadap profesionalisme wartawan semakin penting. Sebab, informasi yang disajikan harus mampu mengedukasi publik, bukan menyebar hoax yang pada akhirnya merobek kemanusiaan dan rajutan persatuan dan kesatuan bangsa.
Berita-berita hoax, menurut Pak MG menjadi ancaman besar bagi Bangsa Indonesia ke depan. Media sosial yang digunakan pengguna handphone adalah sarana paling empuk menyebar hoax.