PALU, MERCUSUAR – Isu politik identitas yang mengacu pada kepentingan identitas kelompok sendiri, saat ini mulai merebak. Model politik seperti ini lebih mengutamakan kepentingan kelompok sendiri, yang didasari oleh kesamaan identitas, seperti agama, gender, budaya, dan lain-lain. Di Indonesia, istilah ini mulai ramai diperbincangkan saat pilkada DKI 2017, persaingan tajam dua kontestan politik, Ahok dan Anies Baswedan, di mana hal tersebut mengangkat ranah etnis dan agama.
Hal ini disampaikan Guru Besar dalam Bidang Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Prof. Dr. H. Lukman S. Thahir, M.Ag, dalam pidato pengukuhan guru besarnya yang berjudul “Teologi Kritis dan Implikasinya dalam Pengembangan Teologi Islam Kontemporer”, yang disampaikan pada Rapat Senat Terbuka UIN Datokarama Palu dalam rangka Pengukuhan Guru Besar (Profesor) dan Kuliah Umum UIN Datokarama Palu, Selasa (20/9/2022), yang berlangsung di salah satu hotel di Kota Palu.
Menurut Prof. Lukman, politik identitas akan mengelompokkan masyarakat menjadi dua bagian dan menjatuhkan lawan dengan hal yang berkaitan dengan identitas, dengan inisialnya masing-masing, sebagai strategi yang efektif dan sangat bersifat emosional untuk mendapatkan suara terbanyak, semisal “cebong” sebagai representasi kelompok Jokowi saat ini, dan “kampret” atau “kadrun” sebagai representasi Prabowo dan pendukungnya saat pilpres 2019.
“Model politik identitas seperti ini, jika dibiarkan terus menerus dan tidak diintervensi dengan berbagai bentuk kontra narasi positif, dapat memicu konflik dan bahaya laten di antara masyarakat, yang akibatnya dapat menghancurkan relasi umat beragama, yang pada akhirnya akan mengancam kestabilan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujarnya.
Politik identitas kata dia, dapat dianalogikan dengan politik mie instan. Untuk sedapnya makanan, digunakan berbagai bumbu sehingga memiliki cita rasa yang berbeda, meski tidak mengenyangkan, tetapi enak dimakan. Bahayanya, jika makanan itu dikonsumsi terus menerus, dapat merusak kesehatan manusia. Demikian pula politik identitas, kepentingan politik dibumbui dengan berbagai ayat dan simbol-simbol agama, yang oleh pendengarnya dirasa harum semerbak berbau surgawi, nikmat dan menyenangkan. Akibatnya, mereka yang terpengaruh, tidak merasakan bahaya yang mengancam bagi diri mereka.
“Model pendekatan politik seperti ini, lambat atau cepat akan mencederai dan mengkotak-kotakkan masyarakat yang akhirnya merusak tatanan hidup masyarakat. Dalam konteks wacana seperti ini, teologi Islam kontemporer kata dia, secara teoritis bertugas membongkar selubung ideologis yang tersembunyi di balik wacana teks politik identitas, agar masyarakat atau umat sadar bahwa mereka digiring dan bahkan disesatkan untuk kepentingan sesaat dan jangka pendek. Masyarakat harus tahu bahwa politik identitas itu adalah racun bagi rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, secara praktis, teologi Islam kontemporer berfungsi emansipatoris, dengan mendorong masyarakat untuk menolak segala bentuk penggunaan politik identitas, baik lewat advokasi, pendampingan masyarakat, maupun lewat pendidikan politik masyarakat, dengan memberikan sanksi moral kepada setiap partai politik atau anggota partai, yang mencoba menggunakan politik identitas sebagai alat kampanye.
“Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) harus menjadi bagian yang terpisahkan dari isu tersebut dan sejatinya menjadi agen pengawas, atas praktek politik jual beli agama dan mengawal lancarnya proses demokrasi di Indonesia, yang toleran dan inklusif,” tandasnya.
Tukang Sulap Illusionis