Ahmad Istiqom, Wartawan Penyair Tutup Usia

IMG-20210804-WA0082-9d5ee1b9

Oleh: A.R. Loebis

Selasa pukul 17.13 WIB,  berita mengejutkan dan menyedihkan masuk ke WAG Siwo PWI Jaya, menyatakan rekan Ahmad Istiqom sudah meninggal dunia, setelah beberapa waktu dirawat di rumah sakit.

Ucapan duka pun mengalir, tidak saja di grup WA Siwo (seksi wartawan olahraga) PWI Jaya, tapi juga di grup WA Siwo Senior / PSSI, Penguji UKW PWI, pengurus PWI Pusat, Wartawan Penyair (WPI), Peserta TOT 2019, Warga PWI, Wartawan Pecinta Buku, MR Group, Berita mimbar-rakyat.com dan tentu di   berbagai grup lain yang tidak terpantau.

Begitu banyak teman dan sahabat Pak Is – begitu ia biasa dipanggil – ucapan duka dan doa seakan sambung-menyambung, umumnya merasa kaget dan sedih. Semoga semua doa itu dapat ridho dan ijabah dari Allah SWT, sehingga membukakan pintu langit untuk kedatangan almarhum ke haribaanNya.

Pada 14 Juli 2021, saya ber-WA dengan Pak Is: Asww. Pak Is. Semoga cepat sehat walafiat dan beraktivitas kembali..aamiin. 

Ia menjawab: “Alaikumussalam ala kulli hal. Ini hari ke-12, karantina isolasi di RS UIN. Mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan. Dukungan doa semangat sangat didambakan. Aamien.   

Ternyata kondisi Pak Is semakin menurun. Pada 22 Juli 2021, ada WA masuk melalui rekan Hendry Ch Bangun, berbunyi: “Assalamualaikum…Mohon doa kesembuhan utk Bpk H Istiqom yang sedang berjuang melawan Covid di ICU RS Pertamina. (Nina binti Ahmad Istiqom).

Sejak itu, hampir setiap hari ada saja teman yang menanyakan kondisi Pak Is, sampai akhirnya berita lelayu muncul pada Selasa 03 Agustus 2021 pukul 17.13 WIB itu, yang memberitakan, Pak Is sudah mendahului keluarga dan temannya pada pukul 16.47 WIB.

Siapa sebenarnya Pak Is, kok banyak amat temannya?

Pak Is adalah wartawan serba bisa dan amat berpengalaman. Ia menulis berbagai rubrik, terutama di bidang olahraga, dan sudah malang melintang ke berbagai negara untuk meliput berbagai event.

Haji Ahmad Istiqom bin Ridwan Manshur lahir di Ponorogo pada 30 September 1948. Bulan depan ia akan berusia 73 tahun. Dalam karirnya lebih dari 39 tahun sebagai wartawan, ia mengalami paling tidak korannya dibredel tiga kali oleh Pemerintah Orde Baru.

Pertama pada 1974 ketika ia bekerja di Harian Pedoman, kemudian pada 1978 saat menulis di Pelita, kemudian di Harian Prioritas pada 1985, ketika harian itu membocorkan rahasia negara dengan menyiarkan RAPBN yang belum disahkan DPR.

Pak Is kemudian malang-melintang bekerja di berbagai media. Ia pernah pula di majalah Sportif bersama Hendry Ch Bangun yang kini menjabat wakil ketua Dewan Pers. Hebatnya lagi, Pak Is sudah meliput di empat benua, di antaranya ketika meliput seminar internasional masalah Global Finance (1990) di San Fransisco.

Ia pernah mengikuti seminar internasional visi misi Kemal Attarurk di Istanbul (1998) dan meliput Los Angeles Motor Show (1991).

Ia juga meliput Detroit Motor Show dan Frankfurt Motor Show (1993), Hannover Fair, Brisbane Auto Show (1994) Tokyo Motor Show (1995) dan Taipei Motor Show. Kejuaraan bulutangkis Piala Thomas di Bangkok juga diliput Pak Is.

Pak Is yang juga dijuluki “kiyai kampung”, sudah menulis beberapa buku, di antaranya Sang Juara (1986), Orang Awam Naik Haji ((2009), Sudahkan kita Meneladani Rasul (2012), The Old Journalist Never Die (2013) dan mengumpulkan petuah dari media sosial dalam Wejangan Yang Terbuang (HPN 2017).

Ia pun menulis puisi dengan ajeg. Tulisannya terus mengalir dan dapat dibaca setiap tahun bila dilangsungkan Hari Pers Nasional (HPN), karena ia menulis puisi terus menerus selama beberapa tahun terakhir ini.

Dalam buku kumpulan puisi 99 Wartawan Penyair Indonesia “Peradaban Baru Corona”  dengan kurator Remi Silado, yang terbit pada 2020,  ada puisi Pak Is dengan judul Sajak Pegebluk, sebanyak 25 baris.

“Bagi saya yang pokok bukan kebanggaan tapi kepuasan. Saya santai menikmati mulai dari proses awal hingga hasil akhir karya kewartawanan,” kata “kiyai kampung” suatu saat.

Semakin senja usianya, Pak Is semakin menunjukkan sikap dirinya yang lebih menunduk, lebih mementingkan “ ke dalam” ketimbang “ke luar”.

Sikap yang supel, santun, sederhana, bersahabat, humoris, istiqomah, membuat Pak Is disenangi teman dalam pergaulan sehari-hari – termasuk dihormati para sumber berita saat ia aktif di lapangan, seperti yang diceritakan teman-teman seangkatannya.

Kini, kiyai kampung yang wajahnya tak pernah lepas dari senyum itu, sudah tiada, sudah meninggalkan kita, sudah mendahului kami rekan-rekannya yang sama-sama masih aktif mengasuh mimbar-rakyat.com, semoga jalannya lurus dan lancar menuju surga Allah SWT.

Salah seorang putera Pak Is,  Tahta Aidilla, adalah redaktur foto di Harian Republika. Pak Is dimakamkan di pemakaman keluarga di Jetis, Ponorogo.

Selamat jalan Pak Haji Istiqom.***

Pos terkait