Tepat di depan Sekolah Muhammadiyah dan SMP Negeri 14 Palu di Jalan Letjend Soeprapto itu, beberapa rumah tua berdiri. Dua di antaranya adalah rumah kopel atau rumah bersambung dengan satu dinding pemisah di tengah. Satu rumah memiliki cat depan merah muda, sementara di sebelahnya berwarna krim.
Dua rumah tersebut, dan beberapa rumah serupa yang sederet, masih mempertahankan bangunan lama. Hanya satu rumah di antaranya saja yang berbeda lantaran telah mengalami beberapa kali renovasi. “Itu rumah Kepala Kanwil Perbendaharaan Negara yang sering kosong,” kata seorang warga menunjuk rumah bercat putih dengan bagian depan didesain arsitektur minimalis itu kepada wartawan, Senin (16/7/2018).
Deretan rumah-rumah tua di Jalan Letjend Seoprapto, Kelurahan Besusu Tengah, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu itu, kini dihuni pejabat Kementerian Keuangan yang berkantor di Palu, maupun sejumlah keluarga pensiunan.
“Saya dan suami menghuni rumah ini sejak tahun 1972, setelah suami pindah dari Lampung,” kata Lohena Pessy, istri dari Manusama, penghuni rumah kopel bercat krim dengan nomor 11 itu. Rumahnya berdiri di atas tanah seluas kurang lebih 13 x 38 meter persegi.
Kala bertugas di Palu, suaminya adalah pejabat di instansi Departemen Keuangan sampai tahun 1979. Pangkat terakhirnya Wakil Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara (KPN) Sulteng. Setelah purna tugas, Manusama dan keluarganya tetap diperkenankan menghuni rumah tersebut. Tidak ada masalah. Sampai kemudian pada 1993, mendiang suaminya mengajukan dum atau upaya kepemilikan dengan kompensasi penggantian atas rumah tersebut. Dum diajukan pihak keluarga ke Departemen Keuangan di Jakarta.
Bukan justru memberikan tanggapan atas pengajuan dum tersebut, dua tahun setelah itu, KPN Sulteng mengeluarkan sebuah sertifikat tanah di atas dua rumah kopel tersebut, yakni satu rumah dihuni Manusama dan satu lagi Budy Setyo, SE. Sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kodya Palu tersebut teregistrasi dengan nomor 19.05.02.01.4.00183.
Saat itu, keluarga masih meyakini jika rumah kopel yang mereka tempati adalah aset Departeman (Kementerian) Keuangan, secara khusus KPN Sulteng. Belakangan setelah melakukan penelusuran, termasuk kepada pemerintah daerah, Lohenna mengaku pihaknya mendapat informasi jika rumah kopel tersebut bukan dibangun oleh KPN.
Disebutkan bahwa rumah itu dibangun pada tahun 1964 oleh Pemerintah Kabupaten Donggala untuk perumahan dinas pejabat, dalam hal ini pejabat Departemen Keuangan. Sejak saat itu pula, belum ada bukti serah terima dari Pemda Donggala kepada Departemen (Kementerian) Keuangan, dalam hal ini KPN Sulteng. Karena itu, ia pun menilai sertifikat yang dikantongi KPN itu janggal. “Saya juga sudah cek di kantor pertanahan, dan disebutkan jika tak pernah mengeluarkan sertifikat tersebut,” aku Lohena. Atas dasar itu, pernah suatu waktu di tahun 2011, Bupati Donggala Habir Ponulele menurunkan petugas untuk mengukur tanah kopel tersebut. Kejanggalan lain dari sertfikat itu adalah batas rumah dan tanah. Dalam sertfikat tertera batas barat atau belakang rumah adalah rumah Korompot. “Padahal di belakang rumah kami adalah rumah Saleh Sadagang,” katanya. Menurutnya, rumah dalam sertfikat yang disebutkan KPN itu lebih tepat pada rumah jabatan Kepala KPN yang persis di sebelah utara rumahnya.
Perempuan yang kini menginjak usia 89 tahun itu pun menceritakan tarik ulur antara pihak KPN dengan dirinya. Negosiasi, kata dia beberapa kali terjadi namun selalu tak dapat menunjukkan titik terang. Pada tahun 2016 misalnya, ia pernah didatangi tim verifikasi aset dari Kementerian Keuangan dan menawarkan kompensasi ganti rugi jika Lohena bersedia meninggalkan rumah. “Saya bilang, saya minta satu miliar (rupiah),” kata dia. Setelah itu, tak ada kabar lagi sampai kemudian pada tahun 2017, sebanyak 12 orang penghuni perumahan KPN di Palu, antara lain yang berada di Jalan Soeprapto dan Jalan S. Parman bertemu dengan Kepala KPN Sulteng. Waktu itu, mereka bulat bersedia meninggalkan rumah dengan ganti rugi rumah baru.
Setelah Kepala Kanwil berganti, usulan itu belum juga ditindaklanjuti. Justru sekitar tiga bulan lalu, lanjut Lohenna, orang dari KPN datang lagi mengetuk pintu rumahnya. Kepadanya, ia ditawari angkat kaki dari rumah sembari menunggu rumah yang baru. “Saya beritahu itu tukang ukur agar menyampaikan kepada Kakanwil, itu lagu lama,” jelas Lohena.
Mercusuar mencoba meminta konfirmasi hal ini kepada KPN di Jalan Tanjung Dako, Kelurahan Lolu Selatan, Kota Palu. Tak banyak informasi yang diperolah. Pihak KPN menyatakan tidak mempunyai kewenangan untuk menangani invetarisasi aset negara yang ada di Sulteng karena Kanwil Perbendaharaan hanyalah lembaga yang menangani pencairan anggaran satuan kerja yang ada di daerah.
“Kami hanya mengurus terkait pencairan anggaran, tidak terkait aset. Aset merupakan kewenangan KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang),” ungkap staf KPN Sulteng di kantornya, Selasa. DAR/HAI