Bercermin dari Kasus Hotman Paris dan Razman Nasution: Dicari Advokat Pendekar Hukum

Oleh TM. Luthfi Yazid

Kasus “ributnya” pengacara Hotman Paris Hutapea dan Razman Arief Nasution di Pengadilan Jakarta Utara setelah majelis hakim menskorsing dan menutup sidang karena pihak Razman menolak keras sidang dilakukan secara tertutup mendapat sorotan media yang sangat luas.

Keributan itu semakin disorot karena salah seorang pengacara Razman yang bernama M. Firdaus Oiwobo naik ke atas meja di ruang sidang. Nitizen, publik, dan praktisi hukum pun banyak yang ikut bersuara melalui berbagai channel media. Lengkap dengan pro dan kontranya.

Tidak berhenti di situ. Razman pun dilaporkan ke Bareskrim oleh Ibrahim Palino, hakim Pengadilan Jakarta Utara karena dianggap membuat gaduh dalam persidangan.

Pun beredar di media sosial penetapan Ketua Pengadilan Tinggi tentang pembekuan Berita Acara Sumpah (BAS) atas nama M. Firdaus Oiwobo, S.H., maupun atas nama Razman Arief Nasution karena mereka dianggap melakukan ”Contempt of Court” (CoC). Firdaus dan Razman diberhentikan secara permanen sebagai advokat.

Perseteruan Hotman dan Razman sebenarnya sudah lama dan terus bergulir serta menyita ruang publik karena baik Hotman maupun Razman terus menyampaikan sikap yang saling serang dan saling menjatuhkan.

Meskipun berbeda posisi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, semua orang tahu kalau Hotman dan Razman adalah advokat terkenal yang menyandang predikat ”officium nobile” (profesi terhormat).

Dalam situasi negeri kita seperti sekarang, dimana hukum sedang tidak baik-baik saja dan banyak persoalan hukum yang sifatnya strategis dan memerlukan sumbangsih serta problem solving dari para advokat, maka apakah yang dipertontonkan Razman dan Firdaus maupun Hotman adalah sesuatu yang produktif bagi negeri ini?

Bukankah masih banyak persoalan rakyat yang lemah dan tidak memiliki akses pada keadilan karena dizolimi yang membutuhkan peranserta advokat? Tentu saja, mencari solusi bagi persoalan bangsa dan memperjuangkan keadilan bukan hanya tugas advokat, namun tugas kita semua terutama para penegak hukum.

Thomas S. Kuhn, seorang ilmuwan yang mendalami filsafat ilmu pengetahuan (the philosophy of science) dalam The Structure of Scientific Revolutions (the University of Chicago, 1970) menuliskan opininya yang kurang lebih seperti ini:

Secara saintifik, apabila di suatu masyarakat banyak terjadi anomali (dalam penegakan hukum misalnya), maka suatu saat akan terjadi perubahan paradigma dan akan lahir kelompok-kelompok pencerah yang akan menyuarakan kebenaran dan keadilan.

Perlu lebih banyak pendekar dan pahlawan keadilan

Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan sejumlah penangkapan terhadap aparat penegak hukum yang diduga melakukan suap, gratifikasi, korupsi dan pemufakatan jahat. Tiga orang hakim ditangkap dan menjadi tersangka di PN Surabaya. Mereka adalah Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo. Seorang advokat bernama Lisa Rachmat juga ditangkap.

Mereka diduga terlibat permufakatan jahat atas kasus pembunuhan yang dilakukan Gregorius Ronald Tannur terhadap pacarnya. Publik dibuat terhenyak terkait kasus ini karena diduga melibatkan seorang mantan pejabat MA Zarof Ricar (ZR) yang juga ditangkap dan menjadi tersangka dengan dugaan terlibat dalam pemufakatan jahat untuk membebaskan Tannur.

Lebih menggemparkan publik lagi ternyata di rumah ZR didapati gunungan uang yang mencapai Rp 920.000.000.000.000 atau hampir Rp 1 trilyun dan emas 51 kg. Beginikah sesungguhnya gambaran dunia peradilan kita? Begitukah caranya untuk mendapatkan keadilan di negeri ini?

Jika kita menyimak UUD 1945 secara tegas dikatakan bahwa kita adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3). Di dalam konstitusi juga tidak ada jaminan “kepastian hukum” saja, tapi yang ada adalah “kepastian hukum yang adil” (Pasal 28D ayat 1). Bahkan di dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan “mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Artinya, kita sebagai bangsa memiliki sebuah “perjanjian luhur” (noble agreement) antara negara dengan rakyatnya bahwa negara wajib menyelenggarakan serta menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (justitia omnibus) tanpa membedakan suku, agama, ras, perbedaan pandangan politik, status sosial dan sebagainya.

Semua kredo di atas belum dapat diwujudkan. Jika kita mengamati sejarah peradilan dan fakta yang kita hadapi, mafia peradilan masih kuat terjadi, karena melibatkan oknum-oknum aparat penegak hukum. Terlalu banyak untuk disebutkan nama-nama yang pernah terjerembab.

Di kalangan pengacara ada pengacara senior OC Kaligis; dari kejaksaan ada Jaksa Pinangki Sirna Malangsari; dari kepolisian ada mantan Kabareskrim Polri Jend. (P) Suyitno Landung dan Jend. (P) Joko Susilo. Peristiwa tersebut harusnya menjadi bahan pelajaran penting agar terhindar dari keterjerumusan yang sama.

Sebagai sebuah bangsa, kita wajib memenuhi janji-janji kemerdekaan seperti mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun janji-janji itu masih belum dapat diraih sepenuhnya, sebab untuk mendapatkan keadilan ternyata masih harus dengan cara membeli.

Di saat-saat seperti ini kita jadi teringat dengan para pendekar hukum dan keadilan yang sudah tiada, seperti Baharuddin Lopa, Hoegeng Imam Santoso, Yap Tiam Hien, Artidjo Alkostar atau Adnan Buyung Nasution.

Bang Buyung adalah pioneer dan arsitek pendirian dan pengembangan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sejak 1970 yang kemudian pernah dijuluki sebagai “lokomotif demokrasi”. YLBHI banyak memberikan bantuan hukum pada masyarakat yang powerless.

Adnan Buyung Nasution dikenal sebagai pejuang HAM dan demokrasi. Ia tidak pernah gentar menghadapi intimidasi dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Karena kekritisannya, penjara pernah dicicipinya, bahkan juga karena kekukuhannya memperjuangkan hukum, demokrasi dan keadilan, izin advokat Adnan Buyung Nasution (Bang Buyung) pun dicabut oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh saat itu melalui Keputusan Menteri Kehakiman No.M.1760-Kep.04.13 Tahun 1987 yang diterbitkan pada 11 Mei 1987.

Bang Buyung pun hijrah ke negeri Belanda dan memanfaatkan waktu untuk studi S3 di Universitas Utrecht dengan melahirkan disertasi yang monumental:The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959.

Bang Buyung menjadi legend penegakan hukum di Indonesia. Pada masa hidupnya ia bukan hanya dikenal di tanah air, tetapi juga di dalam komunitas hukum di luar negeri.

Namun figur seperti Bang Buyung tidak banyak lagi dikenal oleh advokat-advokat generasi milineal sekarang. Banyak advokat muda tidak mengenal dan karenanya tidak mengidolakan Bang Buyung, tapi justru mengidolakan advokat dengan tipologi yang lain.

Di luar profesi advokat, ada figur penegak hukum lainnya yang patut menjadi teladan. Baharuddin Lopa sebagai jaksa, komisioner Komnas HAM, dan Jaksa Agung (JA) dikenal dengan keberaniannya. Lopa dikenang karena memiliki integritas yang kuat.

Ia menentang dan menolak suap, korupsi maupun intervensi dalam penegakan hukum dari siapapun, termasuk dari penguasa. Lopa konsisten dengan prinsip-prinsip yang diyakininya dan terus berusaha memulihkan citra kejaksaan sampai menjelang wafatnya seolah-olah ia tak punya urat takut.

Ia hadapi siapapun yang mencoba menabrak hukum dan keadilan yang diperjuangkannya. Hidup Lopa yang sederhana serta ketaatannya kepada Tuhan itulah yang membuatnya kokoh bak batu karang di tengah lautan.

Kemudian ada Jenderal Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri. Namanya harum dikenang masyarakat karena sebagai pucuk pimpinan tertinggi di kepolisian Hoegeng hidup teramat sangat sederhana serta dikenal kejujurannya.

Ia menjadi simbol kejujuran dan ketegasan di kepolisian, sebab ia tidak dapat disogok dan menolak segala macam gratifikasi dan korupsi. Sebagai aparat penegak hukum ia betul-betul menjaga martabatnya dengan menjadikan dirinya sebagai teladan banyak khalayak.

Selain Adnan Buyung Nasution, Baharuddin Lopa dan Hoegeng Imam Santosa tentu kita masih ingat tentang peran penting para Sarjana Hukum (Meester in de Rechten) yang juga dianggap sebagai “advokat” di masa lalu.

Mereka adalah para para pejuang yang mau terlibat dengan persoalan masyarakat, bangsa dan negaranya. Mereka terpanggil untuk berbuat ketika melihat ketidakadilan, kedholiman serta penindasan. Mereka sangat gigih untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan, keterbelakangan dan penindasan.

Mereka telah meninggalkan sebuah legacy yang dikenang sampai saat ini. Mr. Muh Yamin, Mr. Soepomo, Mr. Muh Rum, Mr. Achmad Subardjo, Mr. Muh Natsir, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Mr. Johanes Latuharhary, dan Mr. Kasman Singodimedjo hanyalah beberapa nama yang bergelar Mr. yang dapat kita sebutkan. Nama-nama mereka menjadi legenda.

Mereka dikenang budi baiknya oleh sejarah, sebagaimana Mahatma Gandhi, seorang pengacara dari India yang dikenal dunia dengan Ahimsanya atau Nelson Mandela dari Afrika Selatan yang juga pengacara yang dikenal kegigihannya menentang politik apartheid. Itulah memang hidup. Tergantung pilihan kita ingin dikenang sebagai apa usai meninggalkan dunia.

Pada akhirnya, kegemilangan suatu bangsa terletak pada attitude, karakter atau watak para pemimpinnya yang diikuti dengan keberanian (courage) sebagaimana yang pernah dipesankan cendekiawan China Lu Kun (1536-1618) maupun negarawan dan pahlawan Negeri Sakura, Saigo Takamori (1827-1877). Bangsa ini membutuhkan lebih banyak pendekar dan pahlawan keadilan.

Dalam kaitan ini, Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya beberapa waktu lalu menegaskan akan mengejar koruptor meski sampai ke Antartika. Tekad tersebut tentu sangat kita hargai.

Pidato Presiden itu harus dijadikan panduan gerak kerja kabinet Merah Putih atau dapat diibaratkan semacam road-map, yang seumpama landasan pesawat (run-way) menjadi koridor setiap pesawat yang akan take off maupun landing. Apabila pesawat landing ataupun take off di luar koridor run-way, maka sangat berpotensi mengakibatkan kecelakaan.***

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI).

Pos terkait