Iran Mutakhir

Syafinuddin Al-Mandari

Selama 42 tahun warga dunia menyaksikan peragaan yang menakjubkan di Iran. Baik diakui ataupun tidak capaian Iran memperlihatkan suatu hasil dari kesungguhan bernegara. Tata kelola berbasis sipil terlatih, pemerintahan terpimpin yang mengapresiasi pendapat rakyat secara proporsional, penegakan hukum, sistem pertahanan rakyat, pengembangan sains untuk tujuan damai, hingga diplomasi luar negerinya semua gemilang. Sama juga dengan penghormatan atas Hak Asasi Manusia serta pemuliaan kedudukan perempuan dalam bingkai keadilan gender, memperlihatkan suatu keseriusan tingkat tinggi.

Memang sekarang ini ekonominya terasa sangat berat; goyah. Produk Domestik Bruto Iran ada di angka USD 5.535.471 pada 2019. Walau masih lebih tinggi dibanding Indonesia dengan PDB USD 4.174.900 pada tahun yang sama, namun ekonominya tidak bertumbuh secara baik. Akibat tekanan embargo, Iran benar-benar mengalami kesulitan. Pertumbuhan ekonominya kian melambat dalam sepuluh tahun terakhir. Tahun 2019 tercatat -6 persen, bahkan ada yang menyebut -9 persen ketika Indonesia memgalami pertumbuhan 5 persen lebih. Namun kemajuan yang dicapainya justru terjadi dalam kelemahan angka-angka ekonomi negaranya. Iran memiliki ketahanan internal yang sangat kokoh. Semua itu dimulai dari suatu ledakan revolusi.

Melewati hampir dua generasi baru, kini Iran harus dibaca sebagai “Iran Mutakhir”. Iran yang dilihat secara obyektif tanpa kembali mengikutkan heroisme revolusi era Imam Khomeini dahulu. Apa yang menarik dari Iran mutakhir ini setelah generasinya sekarang bertumbuh tanpa mengalami heroisme melawan Shah Mohammad Reza Pahlevi? Mungkin jugakah generasi baru ini dan di masa depan akan mampu bertahan seheroik ketika memori revolusi 42 tahun lalu itu menggelegar di angkasa Iran? Artikel ini akan mencoba menyorot sisi tertentu dari Revolusi Islam ini.

Revolusi Diri
Meski yang terpajang di teras informasi dunia bahwa perubahan besar pada 11 Februari 1979 adalah sebuah revolusi politik, namun hakikatnya revolusi Islam Iran itu berangkat dari suatu revolusi diri. Jauh sebelum gejolak politik mewarnai dinamika sosial Iran, lembaga-lembaga pencerahan sudah lebih dahulu mengubah mayoritas anggota masyarakatnya. Lembaga pencerahan rakyat yang dikenal dengan namaHauzah Ilmiyah itu menjadi lokomotif kesadaran masyarakat Iran dalam gerak perubahan dan semua rencana masa depan peradaban Iran. Lembaga ini menjadi suatu sokoguru gerakan kebudayaan yang sanggup mengoreksi semua fenomena sosial yang tak sejalan dengan tujuan ideal manusia.

Tentu saja dalam konteks ini, termasuk untuk mengoreksi kebijakan-kebijakan politik pemerintah. Empat belas tahun sebelum meledaknya peristiwa politik yang menggulingkan Shah Reza Palevi, Imam Khomeini sudah bereaksi keras terhadap suatu kebijakan pemerintah yang dilihat sangat merendahkan Bangsa Iran di hadapan hegemoni Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Kebijakan itu memberikan keistimewaan kepada warga Amerika dan hak pemerintah AS yang juga tak kalah istimewanya. “Pemerintah Iran tak berhak menjatuhkan hukuman kepada warga negara AS walau melanggar hukum di dalam teritorialnya, dan sebaliknya Pemerintah AS berhakmenghukum siapa saja warga Iran yang melanggar hokum di dalam territorial AS. Momentum gerakan politik akhirnya diumumkan secara tegas; Pahlevi tidak layak lagi dipertahankan.

Revolusi Iran sulit dipahami hanya sebagai fenomena politik belaka. Jika naskah-naskah sosial dan politik menggambarkan Revolusi Boulshevik sebagai revolusi terdahsyat di era modern, semua masih mengakuinya sebagai revolusi kelas. Gelombang gerakan kelas bertujuan meruntuhkan dominasi dan arogansi kelas sosial tertentu. Usai revolusi, sejumlah pekerjaan setara revolusi masih harus dibereskan. Justru dapat dikatakan bahwa problem baru usai revolusi jauh lebih besar.

Berbeda dengan gerakan kelas dalam revolusi kaum Komunis di Rusia itu, Revolusi Islam Iran ini memperlihatkan karakter lain. Revolusi ini dimulai dari kesadaran serba dimensi. Memang ada kesadaran kelas, sehingga muncul pula gerakan kelas. Namun uniknya, seruan-seruan terbesar dalam naskah-naskah yang menyertai Revolusi Islam Iran justru revolusi diri. Ia menyampaikan suatu abstraksi tujuan yang hendak dicapai, jauh melampaui definisi tujuan material dan profan.

Fokus perhatian pada ruhaniah manusia menjadikan arus perubahan di Iran jelang ledakan politik dan sosial 42 tahun silam itu bagai air bah yang amat deras. Ia datang sekonyong-konyong dan melibas segala kemapanan.

Iran saat itu adalah bangsa yang sedang bergejolak dengan gerakan individu tercerahkan. Iqbal (1975) menyebutnya sebagai raushan dhamir, pribadi tercerahkan. Di antara mereka ada para pemikir, intelektual, dan ideolog yang cemerlang. Syariati (1976) menyebutnya sebagai raushan fekr, intelektual tercerahkan. Ada pula ulama tradisional yang amat piawai memberi telaah kritis atas Fillsafat Barat, seperti Murtadha Muthahhari (1978) yang memperkenalkan cara baru mendekati Islam secara komprehensif dan ilmiah.

Semua pemikiran tokoh tersebut digunakan oleh mayoritas rakyat Iran sebagai alasan tak tergoyahkan untuk menumbangkan tirani Pahlevi. Publik Iran yang sebelumnya telah menghidupkan institusi pendidikan rakyat yang independen amat mudah akrab dengan analisis tokoh-tokoh tersebut. Anjuran-anjuran kemandirian berpikir, kedaulatan politik negara, kemandirian ekonomi, dan karakter budaya yang diinspirasi oleh ajaran Alquran, dalam waktuyang bsangat cepat menguasai alam pikiran publik. Revolusi pemikiran inilah yang menyebabkan tampilnya individu revolusioner dalam jumlah yang sangat banyak. Tak kurang dari dua puluh juta orang (Arjoman, 1999).

Republik Islam Iran kemudian berjalan dalam suasana kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi itu. Demikian juga karakter kebudayaan Bangsa Iran yang turut menjiwai setiap gerakan kebangsaannya, menjadi modal sosial yang amat berharga. Impian Soekarno tentang Tri Sakti berhasil diwujudkan oleh Iran.

Himpitan embargo bahkan provokasi perang tak menyurutkan proyek Iran masa deoan. Kini, setelah 42 tahun, Iran benar-benar tampil dengan wajah baru yang merupakan efek langsung dari gerakan revolusi diri dalam model pendidikan rakyat bernama hauzah ilmiyah itu.

Perkembangan ilmu-ilmu humaniora dan sosial mengalami kemajuan yang sangat berarti. Pembangunan manusia berjalan diluar kontrol negara. Ini menjadi bom waktu yang meledak keras dan menghantam inti kekuasaan Dinasti Pahlevi ketika Islam tidak lagi dilihat secara ritual belaka melainkan sebuah konsep politik; hukum, pemerintahan, dan kekuasaan.

Saat revolusi diri massif di kota-kota dan setiap pelosok, maka seruan pembebasan dan antitirani disambut gegap-gemlita. Imam Khomeini berhasil memanfaatkan peluang ini dalam suatu gerakan politik.

Imam Khomeini memperkenalkan kesadaran diri, kelas, kebangsaan, dan religius sebagai basis revolusinya. Bersama tokoh-tokoh sekelas Murtadha Muthahhari dan filosof lainnya Khomeini merancang perubahan besar yang memiliki landasan kuat, menjangkau masa depan yang amat jauh serta dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, politis dan sosiologis.

Revolusi Politik
Infrastruktur revolusi yang demikian kuat ternyata juga mendapat dukungan yang sangat luas. Ketika referendum digelar, ada sebanyak 98,2 persen rakyat menyetujui konsep Wilayatul Faqih, (Tamara, 1980). Pelaku revolusi itu tak lain dari diri-diri yangtercerahkan melalui suatu proses revolusi diri.

Revolusi ini bukan sajamenghentikan kekuasaan Pahlevi sekaligus memaksanya hengkang dari Iran tetapi juga merombak total sistem politik dan kenegaraan Iran. Dinasti diganti dengan Republik Islam.

Republik Islam Iran yang menjadi hasil nyata gerakan revolusi saat itu tidak sekadar bertahan sebagai negara berdaulat, namun juga perlahan menjadi sebuah kekuatan dunia yang sangat diperhitungkan AS dan sekutunya. Dalam perspektif politik AS dan sekutunya tak terlalu memperhitungkan pernyataan negara lain. Sikap dan pendirian Iran serta responnya atas segala perkembangan dunia khususnya Timur Tengah menjadi amat penting dalam setiap kebijakan AS dan sekutunya.

Revolusi Industri
Gelombang baru revolusi sains mendorong perubahan mendasar dalam industri dan perdagangan. Bukan hanya penggunaan perangkat yangditampilkan sebagai sesuatu yang baru namun juga paradigmanya, (Heryanto, 2013). Ketika Iran mencoba mempopulerkan nuklir damai, banyak yang mengira bahwa teknologinya adalah teknologi yang biasa saja seperti yang tengah dikembangkan di berbagai negara. Ternyata, Iran menggunakan landasan konsep lain yang mempersempit kemungkinan mengembangkan senjata pemusnah massal.

Sesungguhnya inilah Iran Mutakhir itu. Iran yang tengah berupaya keras menghadirkan peradaban yang sungguh-sungguh manusiawi. Itu sebabnya teknologi yang dikembangkannya menggunakan basis teori yang memungkinkannya mengembangkan perangkat-perangkat untuk keperluan sipil, damai, dan demi pengembangan sains yang lebih beradab. Selain itu, semua ini didasarkan pada argument syariah Islam atau perintah Alquran.

Revolusi industri baru (4.0) misalnya, telah diakrabkandengan maksud-maksud melayani kemanusiaan. Kecuriagaan Barat atas Iran tentang nuklir sama sekali tak terbukti. Bahkan jauh seluruh bukti telah memperlihatkan nuklirnya adalah nuklir damai.

Kesiapan Iran memasuki dunia industri baru juga merupakan kesiapan revolusioner. Visi gerakan Kekal dalam pesan revolusi ini adalah revolusi diri yang terlembagakan dan terencana. Ia akan berlangsung terus menerus untuk menapasi semua proses revolusi lainnya.

Ketika negara dihadapkan dengan keharusan perubahan dalam ekonomi, keuangan, dan industri, Iran sangat pantas untuk menyatakan diri paling siap. Kasus Pandemi Covid-19 telah memperlihatkan sikap independen Iran. Meski demikian Iran tak mengabaikan kenyataan untuk hidup bersama dan berdampingan dengan semua negara yang memiliki visi damai dan adil.

Iran mutakhir masihlah Iran yang rasional, obyektif, namun juga progresif. Iran mutakhir adalah Iran yang siap berdialog dengan negaralain dalam kerangka kesejajaran. Segala kemajuan pada Iran mutkahir ini adalah buah dari pendidikan diri paling masif di dunia. Iran mutakhir adalah sebuah hasil eksperimentasi budaya humanis yang terus akan ada dalam relung politik dan industrinya betapapun dinamisnya.*

Syafinuddin Al-Mandari (Pemerhati Perkembangan Sains dan Kebudayaan Iran)

Pos terkait