Mendiskusikan Nama Wilayah Banggai, Banggai Kepulauan, Banggai Laut

E53D8FD7-6C96-4329-8863-13EEDDF2A0DE-b06e38bc

Oleh: Ridaya Laodengkowe Geografer, Pemerhati Kebijakan Publik, pau Banggai

KABUPATEN Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, dan Kabupaten Banggai Laut, tiga kabupaten di jazirah Timur Sulawesi ini punya tautan kesejarahan dan kekerabatan yang panjang. Tak terpisahkan secara historis, kultural, sosial dan juga ekonomi. Dari dulu, hingga kini.

Ketiga daerah ini pernah dalam satu administrasi pemerintahan, Kabupaten Banggai yang beribukota di Luwuk (UU No 29/1959). Sebagai daerah otonom sudah dua kali dimekarkan, tahun 1999 Kabupaten Banggai Kepulauan (UU No 51/1999), dan tahun 2012 (UU No 5/2012) Kabupaten Banggai Laut.
Bagi sebagian besar warga setempat ketiga daerah ini dengan mudah dibedakan. Bahkan kalau baru bangun tidur pun dan langsung ditanya, kecamatan mana (sebut saja) masuk kabupaten apa dengan mudah dijawab dengan tepat.

MEMBINGUNGKAN
Tapi ternyata pembedaan nama ketiga daerah itu tidak berlaku bagi orang di luar daerah tersebut. Jangankan di luar Sulawesi Tengah, di dalam kalangan pegawai pemerintah provinsi Sulawesi Tengah pun banyak yang bingung kalau ditanya. Apalagi warga kebanyakan.
Pejabat dan staf madya di kementerian dan lembaga negara di Jakarta pun yang saya jumpai selama dua puluh tahun ini banyak yang keliru, tidak paham, atau salah rujuk. Padahal mereka mengurus dan membahas alokasi dan implementasi segala macam kebijakan untuk berbagai daerah, termasuk ketiga daerah bersaudara tersebut. Bisa salah sasaran, dan merugikan.
Tidak hanya itu, para akademisi dan peneliti yang punya ruang pemahaman yang luas banyak yang tidak tau persis perbedaan ketiganya. Juga para pelaku usaha, penyedia jasa dan sebagainya. Butuh waktu agak lama untuk merujuk daerah yang mana Ketika menyebut “Banggai”.
Ini tentu suatu ironi, meskipun dalam observasi sehari-hari kita memang menemukan penyakit akut kita. Kita sering bermasalah terhadap hal ihwal geografi, dan juga sejarah kalau bisa ditambahkan. Kalau soal uang biasanya kita cepat dan akurat mengingatnya.

TOPONIMI DAN IDENTIFIKASI GEOGRAFIS
Apapun sebabnya, barangkali toponimi tiga kabupaten ini perlu dipikirkan kembali. Selain untuk memudahkan semua orang, juga untuk menghindarkan kesalahan alamat dan lain sebagainya.
Kasihan betul jikalau promosi mengundang wisatawan, misalnya, sudah dilakukan suatu daerah dengan anggaran besar, tapi ternyata para pelancong salah paham, dan salah pilih daerah kunjungan.
Demikian pula kalau kita telaah lebih jauh untuk kepentingan identifikasi geografis pada spesies alami atau produk-produk setempat yang unggul, bernilai ekonomi dan konservasi tinggi.
Identifikasi geografis dan branding akan meleset karena kerancuan nama daerah.

CELAH UNTUK PERUBAHAN
Singkatnya perlu penamaan ulang agar semua mudah mengidentifikasi, baik oleh orang setempat maupun orang luar daerah. Kebetulan ada jalan keluar untuk mengatasi ironi yang sekelumit disinggung di atas. Proses perubahan nama daerah sudah ada prosedurnya dalam Undang-undang Pemerintah Daerah (UU No 23/2014): cukup dengan usulan daerah setempat, rekomendasi gubernur, dialamatkan kepada Pemerintah Pusat. Produk akhirnya berupa Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan oleh Presiden.
Prosesnya jauh lebih mudah ketimbang usulan pemekaran daerah, perubahan batas daerah , dan bahkan untuk pembentukan satu desa baru.

BEBERAPA PENGALAMAN DAN ALASAN PEMBENAR
Indonesia cukup kaya dengan pengalaman mengubah nama daerah, atau nama ibukota daerah (bukan pemindahan ibukota).
Kabupaten Klungkung misalnya, pada tahun 1992, mengubah nama ibukotanya dari Kota Klungkung (Provinsi Bali) menjadi kota Semarapura (PP No 18/1992). Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud (Sulawesi Utara) berubah jadi Kabupaten Kepulaun Sangihe (PP 59/2014). Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Maluku) berubah menjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar (PP No 2 /2019). Kabupaten Toba Samosir (Sumatera Utara) diubah menjadi Kabupaten Toba (PP No 14/2020).

Kalau disimak dengan seksama naskah peraturan-peraturan pemerintah di atas, khususnya di bagian penjelasan, alasan perubahan tidak semuanya karena argumentasi sosilogis, budaya, historis, filosofis yang rumit sebagaimana dibayangkan oleh sebagian ahli atau pemerhati perundang-undangan.

Alasannya bisa sangat sederhana, dan bahkan deskriptif saja. Yang utama adalah dirasakan keperluan pengubahan, dan menjustifikasi mengapa nama baru dipilih atau diambil. Di bahian terakhir inilah alasan- alasan sosiologis, budaya, historis, dan filosofis bisa dipakai.

OPSI UNTUK TOPONIMI WILAYAH BANGGAI BERSAUDARA
Dengan alasan-alasan dan pembelajaran di atas, tulisan pendek ini mengajak para pihak untuk mendiskusikan opsi perubahan nama tdaerah bersaudara: Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, dan Kabupaten Banggai Laut.
Opsi apapun yang dipilih saya percaya akan baik, paling tidak akan (dan karena harus) mengatasi kesalahpahaman rujukan daerah.
Namun mengingat ketiga daerah otonom ini masyarakatnya bersaudara, dan punya keterkaitan historis dan administrasi pemerintahan di masa lalu, alangkah eloknya kalau perubahan ketiga nama daerah ini (kalau disetujui) diikat dalam satu peraturan pemerintah, satu nomor untuk tiga daerah sebagai bentuk simbolik eratnya persatuan masyarakat ketiga daerah ini.
Kalau boleh memencing atau memulai menghangatkan diskusi, saya usulkan ketiga daerah itu berubah begini:
Kabupaten Banggai menjadi Kabupaten Babasal Kabupaten Bangkep menjadi Kabupaten Peling Kabupaten Banggai Laut jadi Kepulauan Banggai
Alasan kesatu. Benar bahwa Babasal adalah akronim tuga etnis asli wilayah iji, Banggai, Balantak, Saluan. Namun sebagai akronim Babasal sudah diterima cukup lama sebagai identifikasi sosio- antropologis yang nyata. Lagi pula, kalau ditelisik agak jauh “babasal” punya arti yang bagus menurut Bahasa Banggai, berarti “besar”; misal dipakai dalam Bonua Babasal (rumah besar), Paisu Babasal (kuala atau sungai besar), dan Temeneno Babasal (Tuhan Maha Besar, Allahu Akbar).
Dengan menggunakan Babasal, walaupun sebagian besar komunitas Banggai sudah berdiri sendiri, tetap mencerminkan aspek asal usul yang signifikan. Hal yang sama kalau kelak misalnya kalau wilayah Balantak dan Lamala kelak menjadin daerah otonom tersendiri. Kabuaten Banggai tetap menjadi rumah Bersama tiga etnis asli dan etnis-etnis lain yang telah memajukan daerah ini.

Alasan kedua. Meskipun bernama Banggai Kepulauan kalau dicermati wilyah yang saat ini ada praktis berada dalam satu pulau besar, Pulau Peling (atau Peleng dalam beberapa peta), plus beberapa pulau kecil seperti Pulau Bakalan dan Pulau Bakalan Pauno. Sekira sembilan puluh delapan persen wilayah Banggai Kepulauan sekarang sebenarnya bukan kepulauan, tapi satu pulau. Karena itu, hemat saya, lebih tepat dipetimbangkan nama Kabupaten Peling. Lagi pula dalam percakapan sehari-hari sering kalau ditanya di Banggai mana, akan dijawab di Peling dengan konotasi yang netral; sebentuk identifikasi geografis yang secara kultural berterima.

Alasan ketiga. Wilayah yang mekar terakhir ini yang sebenarnya paling absah mendapatkan identifikasi geografis kepulauan. Ada belasan pulau berpenghuni, dan ratusan pulau-pulau kecil yang jadi tempat mencari nafkah. Selain itu penggunaan identifikasi “kepulauan” lebih mudah diterjemahkan ke bahasa asing, seperti Bahasa Inggris, “archipelago”. Alternatif tetap dengan Banggai Laut juga mungkin dipertimbangkan.
Opsi lain terbuka, yang penting mengakhiri kebingungan luas, dan tidak menciptakan kebingungan baru.

PENUTUP
Perubahan nama geografis, atau toponimi, ketiga daerah ini hanya akan bermakna kalau dilakukan ketiganya secara bersama-sama. Tanpa satu, apalagi dua yang lain, justru hanya akan jadi muspro. Tujuan mengeliminasi kebungungan tidak akan tercapai.
Karenanya para pemangku kepentingan utama di daerah ini, perlu membincangkan bersama dan mengatur langkah yang selaras dalam rentang waktu yang relatif sama untuk mengusulkan perubahan atau penyesuaian nama. Itu kalau usulan ini disetujui.***

Pos terkait