Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)
Semakin tua usia Wine, semakin berkelas cita rasanya. Ungkapan ini bagi saya, adalah ungkapan yang pas untuk merefleksikan Mercusuar, yang pada 1 September 2022, genap berusia 60 tahun. 60 tahun perjalanan menghadirkan informasi yang bernas bagi masyarakat Sulawesi Tengah, jelas bukan sebuah pencapaian biasa.
Mercusuar lahir pada 1 September 1962, selang sehari setelah kelahiran anak ketiga Rusdi Toana, yakni Tri Putra Toana, yang kini menakhodai Mercusuar meneruskan wasiat sang ayah yang telah berpulang 1999 silam. Mercusuar lahir dengan nama Soeara Ra’jat (Suara Rakyat), sebuah nama yang mencerminkan visi kelahirannya sebagai pembawa suara rakyat.
Mengusung nama Soeara Ra’jat, surat kabar ini berkomitmen untuk independen, dalam artian tidak terpolarisasi sebagai pendukung entitas politik tertentu. Idrus Rore dalam bukunya Dari Zamroed Paloe Hingga Mercusuar: Pasang Surut Surat Kabar di Kota Palu (1935 – 1993) menulis, keberadaan surat kabar di Kota Palu sejak tahun 1962 sampai tahun 1965, telah terpolarisasi pada surat kabar pendukung partai. Dari enam surat kabar yang terbit kurun 1962-1965 yakni Soeara Ra’jat, Mimbar Ra’jat, Duta Revolusi, Gesuri, Suluh Marhaen, dan Nusa Putera, hanya surat kabar Soeara Ra’jat yang independen.
Idrus Rore menyebut, Rusdi Toana menerbitkan Soeara Ra’jat setelah kembali dari Yogyakarta pada tahun 1961. Selama menjadi pelajar maupun mahasiswa di Yogyakarta, ia telah aktif dalam bidang penerbitan surat kabar, khususnya surat kabar mahasiswa. Oleh karena itu, dunia surat kabar bukan arena yang asing bagi pemuda kelahiran Parigi ini. Dalam mengelola penerbitan surat kabar Soeara Ra’jat, dirinya dibantu oleh beberapa teman, seperti Badrun Dg. Ngale, Syukri Maien, dan Andi Tjella Nurdin.
Idrus Rore menulis, walaupun Soeara Ra’jat bersifat independen, dalam arti tidak terikat dan mengikatkan diri pada salah satu partai politik maupun organisasi sosial tertentu, akan tetapi setelah surat kabar Mimbar Ra’jat diterbitkan pada tahun 1963 sebagai surat kabar pembawa suara PKI, maka Soeara Ra’jat mengambil sikap lebih condong pada Muhammadiyah. Sikap Soeara Ra’jat yang condong pada Muhammadiyah kata Idrus, sebenarnya secara laten memang dimiliki sejak awal penerbitan surat kabar Soeara Ra’jat, karena Rusdi Toana dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah Sulteng. Hanya saja pada awal penerbitan, Soeara Ra’jat tidak mengklaim diri sebagai surat kabar yang membawa pesan-pesan dakwah. Pasca terbitnya Mimbar Ra’jat, barulah Rusdi Toana secara tegas menyatakan Soeara Ra’jat condong ke Muhammadiyah.
Dari Soeara Ra’jat ke Mertju Suar
Perubahan nama Soeara Ra’jat menjadi Mertju Suar terjadi pada 1966. Perubahan nama ini dilakukan karena setelah perisitiwa Gerakan 30 September (G30S), semua yang memakai nama ‘Ra’jat’, selalu dikonotasikan dengan PKI. Menurut Idrus, untuk menjaga agar jangan sampai timbul persepsi keliru bahywa Soeara Ra’jat adalah corong dan alat agitasi PKI seperti surat kabar Mimbar Ra’jat, maka Rusdi Toana mengubah nama Soeara Ra’jat menjadi Mertju Suar.
Pemilihan nama Mertju Suar kata Idrus, berkaitan dengan Keputusan Menteri Penerangan No. 29 29/SK/M/65 tentang Norma-Norma Pokok Pengusahaan Surat Kabar Dalam Rangka Pembinaan Surat Kabar Indonesia. Berdasarkan keputusan Menteri Penerangan tersebut, maka semua penerbitan surat kabar diwajibkan berafiliasi pada salah satu partai politik atau organisasi massa yang diakui oleh pemerintah. Khusus untuk surat kabar di daerah, diharuskan berafiliasi pada salah satu penerbitan surat kabar di pusat. Akibat peraturan tersebut, Mertju Suar diharuskan berafiliasi pada surat kabar Mertju Suar yang terbit di Yogyakarta, yang merupakan surat kabar milik Muhammadiyah.
Transformasi Stensil ke Cetak
Pada kurun 1970-an, Mertju Suar kembali mengubah nama menjadi Mercu Suar. Dalam kurun waktu tersebut, Mercu Suar menjadi salah satu surat kabar yang bertransformasi dari stensilan menjadi cetak. Transformasi ini diperkirakan terjadi,kurun waktu antara 1971-1974. Ulasan Tempo berjudul Paludrine di Palu yang terbit pada 8 Mei 1971 menyitir keterangan wartawan Mertju Suar, bahwa di Kota Palu, terdapat 7 surat kabar stensilan, yang terbit 3 kali seminggu. Dalam kurun waktu kurang lebih tiga tahun, jumlah surat kabar di Kota Palu meningkat hingga mencapai 12 surat kabar, walaupun pada 1974, kembali menyusut menjad 8 surat kabar.
Ulasan Tempo berjudul Harapan Dari Palu yang terbit pada 23 Maret 1974 menyebut, sekalipun saat itu Kabupaten Donggala dengan Palu sebagai ibu kota, berpenduduk 60 ribu jiwa, wilayah ini pernah mencatat adanya 12 penerbitan, yang pada 1974 menyusut tinggal delapan, baik yang sudah dicetak maupun yang masih stensilan. Adapun surat kabar yang dicetak antara lain Pelopor Karya, Sulteng Post, Mercu Suar, Berita Yudha dan Derap Massa, sedangkan surat kabar yang masih stensilan antara lain Suluh Nasional, Suara Ummat dan Nusa Putera.
Ulasan Tempo ini menyebut, di periode itu, surat kabar yang di Kota Palu, dicetak di luar kota. Empat surat kabar dicetak di Ujung Pandang (Makassar), yakni Pelopor Karya, Mercu Suar, Sulteng Post dan Derap Massa. Adapun surat kabar lainnya seperti Berita Yudha, dicetak di Surabaya. Keempatnya rata-rata terbit seminggu sekali, meskipun ada pula yang sekali sebulan. Tempo menyebut, sebenarnya ada juga percetakan sekitar Kota Palu saat itu, yang mampu mencetak koran, yaitu dua buah percetakan negara masing-masing di Balikpapan dan Manado. Dari Balikpapan ke Palu cuma kurang lebih satu jam terbang. Namun, penerbangan antara dua kota ini saat itu kurang sering. Demikian pula ke Manado. Penerbangan yang paling sering dan lancar adalah Palu – Ujung Pandang (Makassar), yakni enam kali seminggu.
Kondisi kelistrikan juga mempengaruhi penerbitan surat kabar di Palu, setidaknya hingga 1974. Sebelum 1974, Kota Palu hanya dialiri listrik pada saat malam hari.
Idrus Rore mencatat, setahun kemudian, Departemen Penerangan mengeluarkan kebijakan Her Register, yakni pendaftaran kembali surat kabar yang telah terbit. Langkah ini dilakukan untuk menertibkan dan sebagai langkah inventarisasi surat kabar di Indonesia. Kebijakan Her Register, ongkos cetak yang membengkak karena harus mencetak di luar daerah, juga ketidakmampuan mesin stensil menjawab tuntutan penerbitan surat kabar, membuat dalam kurun waktu hingga 1982, sebagian besar surat kabar yang ada di Kota Palu mati. Mercu Suar mampu bertahan melalui periode sulit ini.
Punya SIUPP, Memilih Cetak Sendiri
Pada periode 1982 hingga 1992, tinggal lima surat kabar yang mampu bertahan dari periode sulit sebelumnya, yakni Mercusuar, Nusa Putera, Suluh Nasional, Pelopor Karya dan Alkhairaat. Kelimanya merupakan surat kabar mingguan, namun menurut Idrus Rore, hingga 1992, hanya Mercusuar dan Alkhairaat yang mampu terbit secara kontinyu. Semangat untuk terus eksis, menurut Idrus adalah yang membuat surat kabar di Kota Palu pada periode itu mampu bertahan meskipun dalam keadaan sulit.
Pada 1984, Menteri Penerangan menerbitkan Keputusan Menteri Penerangan RI No. 01/Menpen/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Surat Kabar. Dalam keputusan tersebut, setiap surat kabar diwajibkan memperoleh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dua tahun berselang, Mercusuar memperoleh SIUPP, dengan nomor surat No: 172/SK/MENPEN/A.6/1986.
Pada periode ini, Mercusuar mencetak surat kabarnya di Percetakan Negara yang ada di Kota Palu. Namun pada 1989, Rusdi Toana menghentikan kerja sama dengan Percetakan Negara Kota Palu. Mercusuar mencoba untuk mencetak surat kabar sendiri, dengan mesin cetak sederhana.
Transformasi Mingguan ke Harian
Idrus mencatat, sejak 1990, dengan semangat untuk terus eksis dan bermodalkan mesin cetak sendiri, Mercusuar sudah berupaya meningkatkan frekuensi terbit dari mingguan menjadi 8 kali dalam sebulan. Kemudian pada akhir tahun 1992, untuk semakin menunjukkan eksistensi, Mercusuar mengadakan kerja sama dengan Jawa Pos dan menjadi bagian dari Jawa Pos Group. Per 1 Januari 1993, Mercusuar bertransformasi dari surat kabar mingguan menjadi surat kabar harian.
Hal ini menjadikan Mercusuar sebagai surat kabar harian pertama yang terbit di Kota Palu. Dengan dukungan mesin cetak dari Jawa Pos yang diklaim mampu mencetak 25 ribu eksemplar per jam, transformasi Mercusuar dimulai. Dari segi format, Mercusuar terbit dalam ukuran yang lebih besar dengan sesekali edisi berwarna yang memanjakan mata juga memancing animo pengiklan. Oplah per harinya pun tidak main-main, menyasar 2500 hingga 3000 eksemplar per hari.
Wasiat Tonakodi untuk Mandiri
Wakil Pimpinan Umum Mercusuar, Temu Sutrisno, dalam tulisannya berjudul Bangkit dengan Modal Dua Komputer Tua: Refleksi 55 Tahun Mercusuar menulis, kerjasama itu pada akhirnya tidak berlangsung lama. Hanya sekira sepuluh tahun, Mercusuar menarik diri dari Jawa Pos Group. Dimulai tahun 1999, saat Rusdi Toana meninggal, putra ketiganya, Tri Putra Toana yang merupakan saudara kandung Mercusuar, selalu terusik dengan wasiat ayahnya.
Sebelum meninggal, Rusdy Toana membisikkan pada Tri Putra Toana untuk menjaga Mercusuar dan mengembangkannya dengan tangannya sendiri.
“Kelak dari Mercusuar ini, ratusan orang akan menggantungkan hidupnya kepadamu. Jaga keberlangsungan Mercusuar,” kata Tri Putra Toana mengutip wasiat ayahnya.
Akhirnya Februari 2002 menjadi akhir pergulatan pemikiran Tri Putra Toana. Ia memutuskan keluar dari Jawa Pos Group, berniat menjalankan wasiat orangtuanya secara mandiri. Jawa Pos Group pasca mundurnya Tri Putra Toana, mendirikan koran baru dengan nama Radar Sulteng.
Kurun 2002-2004, Mercusuar sebagai korannya rakyat Sulteng istirahat. Mercusuar tidak terbit.
(Kembali) Bangkit Dengan Semangat Tonakodi
Temu menulis, tahun 2005, tepatnya 2 Juni, Mercusuar kembali bangkit dan terbit kembali. Hampir semua aset, sumberdaya manusia dan pelanggan Mercusuar telah beralih ke Radar Sulteng. Dengan talenta dan semangat yang diwariskan Rusdi Toana, Tri Putra atau yang akrab disapa Ongki, memulai penerbitan Mercusuar ala ayahnya.
Ongki sendirian dan tanpa modal. Ongki memanggil beberapa teman dekatnya untuk mengelola redaksi. Setelah beberapa orang siap mengelola redaksi, Ongki meminjam modal dari istrinya, Maya Malania Noor sebesar Rp50 juta. Ongki merakit tiga komputer tua tinggalan Universitas Republik menjadi dua komputer siap pakai. Dengan modal Rp50 juta dan dua komputer bekas, Mercusuar terbit kembali dengan numpang cetak di Percetakan Negara (PNRI). Mercusuar menyediakan kertas sendiri dan hanya membayar biaya cetak di PNRI. Kesulitan yang paling parah adalah, Mercusuar tampil hitam putih dan terbit sore. Sementara kompetitor terbit pagi dan tampil warna. Pelan namun pasti, Mercusuar terus tumbuh dan kembali hadir di hadapan pembaca dan pelanggan setia.
Langkah Menuju yang Terdepan
Setelah kembali stabil, Mercusuar mampu mencetak secara mandiri dan kembali menjadi surat kabar harian pagi.
Tahun 2014, Mercusuar menjadi pelopor penggunaan mesin cetak dengan teknologi Tricolor. Teknologi ini merupakan yang pertama dipakai di Sulteng. Bagi Mercusuar, pembenahan ini bukan sekadar mengoptimalkan layanan untuk konsumen, namun juga bagian dari membangun Sulteng. Tiga tahun berselang, teknologi cetak Mercusuar semakin berkembang, dengan hadirnya teknologi cetak digital yang semakin presisi, untuk semakin memanjakan pembaca dan meningkatkan kualitas, demi menjadi yang terdepan.
Dalam perkembangannya, Mercusuar melalui payung Tri Media Group telah berkembang dan mengelola Harian Sulteng Raya, Percetakan Tri Putra Media Group, Rakyat Post, Banggai Raya, Sulbar Raya, dan Poso Raya.
Tentu saja, perkembangan teknologi harus berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusia dan visi sebuah media, juga merespon animo pembaca. Hal ini juga yang membuat Mercusuar tetap mampu bertahan melewati perubahan jaman. Untuk menghadirkan kualitas pemberitaan yang profesional, 100 persen jurnalis Mercusuar telah mengikuti uji kompetensi dari berbagai jenjang, mulai muda, madya dan utama, dan dinyatakan kompeten. Mercusuar juga sejak 2018 telah tersertifikasi Dewan Pers, dengan nomor surat keputusan No: 286/DP-Terverifikasi-KIN/2018.
Temu, dalam tulisannya, 58 Tahun Mercusuar, Bangkit di antara Dua Bencana menyebut, sebuah kesyukuran sebagai sebuah media mandiri -tanpa modal perusahaan nasional-, Mercusuar tetap eksis setelah menghadapi dua bencana besar. Setelah bencana alam 28 September 2018, Mercusuar seperti badan usaha lainnya, juga teruji menghadapi bencana non alam, pandemi COVID-19.
Tantangan Dunia Digital dan Media Literasi
Dewasa ini, dunia persuratkabaran disebut telah memasuki fase senjakala. Satu persatu surat kabar, baik di Indonesia maupun di sejumlah negara lain di dunia, memilih bertransformasi menjadi platform digital atau menghadapi konsekuensi hilang ditelan arus perubahan jaman. Mercusuar menyadari tren ini dan mulai membenahi platform digitalnya yang dulu statusnya hanya sebagai penunjang, kini menjadi “wajah digital” Mercusuar. Segmentasi dan pendekatan jurnalistik yang diterapkan pun disesuaikan dengan kondisi saat ini, di mana semua media adu cepat dalam mengabarkan informasi. Belum lagi harus bersaing dengan media sosial yang cenderung lebih cepat dalam soal member informasi. Untuk itu, Mercusuar dituntut untuk peka dengan perubahan tren ini, namun tidak meninggalkan ciri khas sebagai sebuah media yang matang ditempa jaman.
Bagi saya, dengan perubahan tren informasi yang saat ini cenderung sangat cepat, Mercusuar bukan lagi cuma sekedar jadi media informasi, namun juga memainkan peran sebagai media literasi. Trust sebagai sebuah media yang matang ditempa jaman, adalah modal bagi Mercusuar untuk mengambil peran sebagai media literasi, yang mengedepankan edukasi daripada mengejar sensasi.
Dengan pengalaman yang baru seumur jagung, di media yang sudah hidup lebih dari setengah abad ini, saya mencoba merefleksi kehadiran Mercusuar dengan berbagai tantangan jaman yang dihadapinya. Tentu saja, basis refleksi saya adalah sejarah, karena sejarah adalah guru kehidupan. Mercusuar harus belajar dari sejarah panjang perjalanannya, untuk menapak menuju masa depan, karena seperti ungkapan saya di awal tulisan ini, makin tua usia wine, makin berkelas cita rasanya. Semoga Mercusuar semakin menunjukkan kelasnya, sebagai satu-satunya media tertua di Sulteng yang masih eksis hingga saat ini.***