Dibuat Bingung Kepala Kampung 

IMG-20220107-WA0055-c5cefdcc

KONON di sebuah kampung yang terkena bencana, warga yang menjadi korban berharap kerja cepat Kepala Kampung dan aparatnya.

Apalagi saat belum terpilih, Sang Kepala Kampung kampanye keliling dan berjanji dapat menyelesaikan persoalan bencana dalam hitungan bulan. Janji manis ini tentu saja membuai warga kampung. Walhasil dalam pemilihan, warga berbondong-bondong mempercayakan kepemimpinan padanya.

Bulan berganti, satu tahun pun menjelang. Penanganan bencana tak kunjung selesai.

Malah tersiar kabar, sekelompok warga di pengungsian harus meninggalkan hunian sementara yang ditempatinya selama ini. Bukan karena telah mendapatkan hunian tetap atau telah membangun hunian baru secara mandiri. Warga harus meninggalkan huniannya, karena tempat hunian telah habis kontrak.

Sang Kepala Kampung pun menjadi tumpuan warga. Tapi apa lacur, Kepala Kampung bilang urusan hunian tetap bukan urusannya. Pembangunan hunian tetap untuk korban bencana, urusan Pemerintah Atas. Pemerintah nun jauh di sana, melalui menteri-menterinya. Kepala Kampung hanya pemerintah bawah.

Warga dibuat bingung Sang Kepala Kampung.

Bisa jadi, apa yang dikemukakan Kepala Kampung benar –dalam konteks administrasi pemerintahan dan pembagian wewenang. Namun, haruskah para korban itu menghadap dan melapor pada pimpinan pemerintahan di pusat atau para menteri yang mereka tidak kenal? Bukankah Kepala Kampung punya tanggung jawab terhadap nasib warganya? Setidaknya, Kepala kampung harus bertanggung jawab atas janji-janjinya.

Wah, mungkin ini yang dimaksud Filsuf Jerman Friedrich Wilhelm Nietzsche, “Jangan percayai mereka yang berkoar terlalu banyak tentang betapa baiknya mereka! Sesungguhnya dalam jiwa mereka, tidak hanya madu yang akan kau dapatkan”.

Jika kita mau menengok sejenak ke belakang sejarah Islam tentang khalifah Umar bin Khattab, rasa-rasanya apapun kondisi dan nasib warga, menjadi tanggung jawab pimpinan. Dikisahkan, bagaimana khalifah Umar sangat memperhatikan rakyat kecil. Umar rela mengambil sekarung gandum, sebotol minyak, gula, mentega, dan segala macam bahan pangan lainnya dari Baitul Maal. Kemudian, Umar sendiri yang memasakkan dan menghidangkannya untuk seorang wanita tua dan anak-anaknya yang sudah tiga hari tidak makan.

Pos terkait