MERCUSUAR-Konon di sebuah daerah, jauh hari sebelum genderang pemilihan ditabuh, salah seorang politisi memasang baliho berukuran besar dimana-mana. Hampir di setiap perempatan dan tempat strategis terpampang wajahnya,dibumbui senyum dan tentu saja tulisan bakal calon kepala daerah. Malah sebagian telah lengkap dengan pasangannya dan partai yang bakal perngusung. Di media, juga santer diberitakan akan maju dalam kontestasi politik dan yakin bakal diusung partai tertentu.
Bisik-bisik di warung kopi, di emperan kaki lima, dan pos ronda, yang bersangkutan bertekad maju sebagai kepala daerah, bukan wakil. Tawaran kandidat lain untuk menjadi wakil, berkali-kali ditolak. Maunya langsung pada posisi kunci. Mungkin ini yang dimaksud nangoa, terlalu mau.
Ada juga kandidat lainnya. Sebenarnya yang bersangkutan partai pengusungnya sudah cukup sesuai jumlah kursi atau suara yang disayaratkan peraturan perundang-undangan. Maunya sebanyak mungkin partai yang ada dirangkul untuk mengusungnya. Alih-alih menyisakan partai untuk kandidat lain. Kalau bisa semua partai diborong. Lagi-lagi, mungkin ini yang dibilang nangoa.
Kandidat bersangkutan bersama timnya mungkin lupa, demokrasi di negeri ini sering tidak sejalan dengan teori sosiologi politik yang ada. Semakin banyak partai pengusung, pasti jadi. Semakin besar pundi-pundi, semaikin besar peluang terpilih. Belum tentu.
Budaya politik masyarakat, bukan budaya parochial, yang mudah nurut pada maunya orang atau partai tertentu.
Pilihan atau sikap apatis pemilih juga tidak selamanya ditentukan modal kapital, laiknya teori Frank Lindenfeld yang mengedepankan kepuasan ekonomi. Politik sangat cair. Pilihan dipengaruhi banyak faktor dan variabel, bukan sekadar banyak partai dan besar kecilnya isi rekening.
Banyak kejadian dalam pemilihan, kandidat yang naik ke tampuk kekuasaan tidak mesti yang diusung banyak partai. Malah, ada kandidat kalah lawan kotak kosong. Begitu juga kandidat partai dalam berbagai pemilihan takluk di kaki peserta independen atau calon perseorangan. Kandidat yang tidak dilirik dan diusung partai politik.
Dua model kandidat seperti ini bisa saja naonga-tenggelam, tasandar di rumpu-rumpu. Hati-hati, jangan karena sikap nangoa walhasil malah naonga.
Kita memang sering mendengar nasihat, “Jangan berlebihan. Berlebihan itu tidak baik.” Kenapa? Karena sikap berlebihan, membuat manusia susah bersyukur. Kta tidak mensyukuri yang ada, maunya semua menjadi milik kita. Seperti kasus tadi, ditawari jadi wakil, maunya jadi kepala. Cukup dua atau tiga partai, maunya banyak atau semua partai.