DONGGALA, MERCUSUAR – Sejumlah dosen dari Fakultas Teknik (Fatek) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Tadulako (Untad) Kota Palu, Sulawesi Tengah melaksanakan Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) bagi Pengrajin Batu Alam di Desa Enu, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala pascabencana tsunami 28 September 2018 lalu.
Pelaksana kegiatan itu yakni Dosen dari Fatek dan FEB Untad, yakni Dr Ratnasari Ramlan selaku Ketua Tim Pelaksana/Program Studi (PS) Teknik Sipil, Sriyati Ramadani (Anggota/Teknik Sipil), Haryono P Kamase (Anggota/PS Akuntansi) dan didukung masing-masing dua mahasiswa dari Teknik Sipil dan Akuntansi.
Ratnasari Ramlan selaku Ketua Tim Pelaksana melalui rilis yang dikirim ke Mercusuar, Ahad (29/9/2024) mengatakan, peserta kegiatan PKM yang dilaksanakan dari Agustus hingga akhir September 2024 itu yakni Kelompok Pengrajin Batu Alam di Enu sebanyak 10 orang dipimpin Sekretaris Desa, Surakota dan Koordinator Lapangan oleh Renawati yang juga aparatur desa setempat.
Ratnasari Ramlan menjelaskan, Desa Enu memiliki sumber daya batu alam yang bernilai ekonomis tinggi. Batu alam dapat ditemukan sepanjang pantai Enu dengan jumlah yang melimpah, sehingga mayoritas penduduk Desa Enu bekerja sebagai pengrajin batu alam.
Menurutnya, para pengrajin di Desa Enu mengumpulkan batu alam setiap hari yang diperoleh di sekitar pantai. Proses pengumpulan batu alam dilakukan secara manual dengan menjelajahi sepanjang pantai Enu.
Pascabencana gempa dan tsunami pada tahun 2018, kelompok pengrajin batu alam di Desa Enu mengalami penurunan ekonomi yang signifikan.
Kerusakan alam pada lokasi pengambilan batu serta infrastruktur yang rusak, termasuk rumah-rumah yang digunakan sebagai tempat usaha, menyebabkan situasi sulit bagi mereka.
Dampak yang paling berat dari tragedi ini adalah penurunan drastis dalam produktivitas pengrajin batu alam, yang langsung memengaruhi perekonomian mereka.
Sebelum bencana kata dia, para pengrajin menjual produk batu alam yang telah diolah menjadi batu hias untuk taman yang biasa dipasarkan ke Kota Palu dengan harga stabil. Namun, setelah bencana tsunami, kreativitas para pengrajin menurun.
“Mereka hanya mampu menjual batu alam secara manual di halaman rumah dan menunggu pembeli dari pengguna jalan yang melintasi Desa Enu,” tuturnya.
Batu alam yang dijual tidak diolah sama sekali atau dalam bentuk alami dan disimpan dalam plastik/karung, dijual dengan harga berkisar antara Rp50.000 hingga Rp100.000 per kantong.
Sehari-harinya, mereka hanya mampu menjual 1-2 kantong, bahkan seringkali tidak ada penjualan.