Energi Bersih, Tradisi yang Ternoda : Potret Adat Pamona di Era EBT

Waya Masapi (Pagar Sogili) tradisi menangkap ikan suku Pamona di Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah kini terancam punah akibat pengembangan PLTA Poso. FOTO : MOSINTUWU

“Sampai kapanpun, saya tidak akan pernah menyerahkan tradisi dari nenek moyang kami hanya demi uang. Saya tidak ingin anak cucu saya kehilangan identitas mereka. Ini bukan hanya tentang ikan Sogili, tapi tentang siapa kita dan bagaimana kita menghargai warisan leluhur, karena pasti setiap tradisi yang ditinggalkan leluhur punya cerita dan makna sendiri yang harus diteruskan oleh generasinya” ujar Fredi Kalengke (65) sambil mengikat karung penampungan ikan Sogili hasil tangkapan dari Waya pagi itu. 

Laporan : Kartini Nainggolan/Wartawan Mercusuar

Disela-sela Wawancara, Fredi sesekali menatap sekitaran danau yang sudah bersih dari bangunan pagar bambu. Seketika tatapannya fokus pada jembatan “Bukaka” yang dulunya adalah jembatan kayu Yondo mPamona. ”Saya akan terus melawan, jangan sampai ini Waya nasibnya sama seperti jembatan Yondo mPamona,” ujarnya sembari menempatkan kembali karung penampungan ikan kedalam pondok bambu yang ada di dalam Waya. 

Bagi Fredi, tradisi bukan sekadar bangunan. Lebih dari itu, Waya Masapi adalah simbol identitas, sejarah, dan kebanggaan masyarakat adat Pamona yang diwariskan turun-temurun. 

Waya (pagar), Masapi Masapi (sogili = jenis sidat/moa endemik di  Sungai dan Danau Poso). Waya Masapi (Pagar Sogili) hanya ditemukan di Tentena. Waya Masapi terletak mulai dari hulu ke hilir, berderet-berjajar sepanjang ± 12 km di atas aliran Sungai dan danau Poso. Berbentuk sebuah pondok berlantai bambu , pada bagian depannya terdapat pagar bilah-bilah bambu yang melebar hingga lebih dari 20 meter dengan ikatan ganjil dari 5, 7, sampai 9. Sidat yang terjaring masuk dalam lokasi ini tidak bisa keluar lagi, terjebak didalam Bubu yang dipasang di tengah pagar.

Waya Masapi, cara menangkap ikan oleh mayarakat lokal Pamona sangat tradisional, tapi hasilnya mengalahkan gaji pokok pejabat pemerintah.

Fredi Kalengke adalah satu-satunya masyarakat adat Pamona di Tentena, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) yang hingga kini tetap mempertahankan tradisi Waya Masapi, sebuah warisan leluhur yang nyaris punah. Di tengah tekanan perusahaan pengembang PLTA Poso, Fredi berdiri teguh melawan segala bentuk upaya pembongkaran tradisi ini.

“Dulu ada ratusan Waya Masapi di sepanjang Danau Poso,” kata Fredi, mengenang masa lalu. Namun, pengembangan proyek PLTA Poso menjadi pemicu runtuhnya tradisi ini. Banyak pemilik Waya Masapi menyerah dan membongkar peninggalan tersebut setelah menerima kompensasi dari perusahaan.

Sudah beberapa kali, pihak PT Poso Energy perusahaan PLTA milik PT Bukaka di wilayah itu mencoba bernegosiasi agar Waya Masapi miliknya dibongkar. Namun, Fredi tetap bersikukuh. Penolakan tersebut tidak jarang diiringi intimidasi, baik dari perusahaan, pemerintah, hingga keluarga sendiri yang mendesaknya untuk menerima kompensasi. Meski demikian, ia tetap bertahan.

Saat negosiasi harga kompensasi dengan perusahaan, Fredi menawarkan ganti rugi dengan skema perhitugan sendiri yakni 15 kilogram (kg) dikali harga jual terendah Rp 90 ribu dan dikalikan satu generasi dengan angka hitung-hitungan Rp 8 Miliar lebih. Ternyata, tawaran Fredi ditolak pihak Poso Energy dengan alasan nilainya tak masuk akal. Fredi kemudian menawarkan harga setengah generasi yaitu Rp 3, 8 Miliar, namun pihak perusahaan tetap menolak.

“Saya sudah beberapa kali negosiasi nilai kompensasi tapi tetap ditolak. Sekarang berapapun mereka mau kase (berikan) harga, sudah tidak bisa lagi,” kata Fredi.

Fredi membeberkan bahwa ia sengajah memberikan harga tinggi, karena yakin bahwa pihak Perusahaan tidak akan menyanggupinya. Ini adalah cara Fredi menolak kompensasi, karena budaya leluhur memang tidak bisa dihargai dengan uang.

Kini PT Poso Energi yang identitasnya oleh warga lokal lekat dengan kata “Bukaka” yang dalam Bahasa daerah Pamona berarti serangga Kecoak, perlahan dan pasti mulai mengubah tatanan hingga landskap budaya sekitar di Danau Poso.

Satu warisan budaya Pamona yaitu Jembatan Yondo mPamona di Tentena, sudah hilang pasca pengembangan PLTA Poso energi. Jembatan Yondo mPamona sebagai simbol semangat Mesale atau bergotong royong  yang dibangun  oleh leluhur suku Pamona, dibongkar oleh pihak Perusahaan dengan dalil hendak memperindah jembatan dengan menghilangkan ciri khas dari jembatan.

Fredi Kalengke, sebagai satu-satunya masyarakat lokal Pamona yang masih berdiri tegak mempertahankan tradisi Waya Masapi di Tentena. Fredy saat memanen Sogili di Waya Masapi, Kamis (5/12/2024). FOTO : KARTINI NAINGGOLAN/MS

Waya Masapi : Melawan Lupa, Merawat Harapan

Pagi itu, Kamis 5 Desember 2024, kabut tipis menyelimuti Danau Poso, Fredi terus mendayung perahu kecil miliknya. Dari kejauhan terlihat pagar bambu (Waya Masapi) yang sudah mulai rapuh. Hanya dalam waktu tiga menit, perahu tak bermesin akhrinya bersandar disebuah gubuk kecil ditengah danau. Suara percikan air dari dalam Waya terdengar, menandakan ada ikan yang terjebak didalamnya. Benar saja, seekor ikan Sidat berukuran tiga jari orang dewasa terjebak dalam perangkap yang terbuat dari anyaman bambu. Hari itu sepertinya Fredi bernasib baik. Tak seperti dua hari sebelumnya, tak seekorpun ikan masuk kedalam perangkap.

Sepanjang hidupnya, Fredi menghabiskan hari-harinya di Waya Masapi. Tradisi ini adalah napas yang memberinya penghidupan dan identitas. Waya Masapi bukan sekadar perangkap ikan untuk mendapatkan uang, ini adalah simbol kebersamaan, keberlanjutan, dan warisan leluhur suku Pamona. Namun, semua itu kini di ambang kehancuran.

Fredi adalah generasi ketiga dalam keluarganya yang merawat Waya Masapi. Sejak kecil, ia mendengar banyak cerita ibunya tentang bagaimana sang kakek merancang pagar bambu ini dengan cermat, memastikan tidak ada kerusakan pada ekosistem danau. 

Waya Masapi milik Fredi Kalengke terlihat dari atas jembatan Bukaka (Yondo mPamonda) di Pagi hari, Kamis (5/12/2024).FOTO : KARTINI NAINGGOLAN/MS

Fredi menceritakan, setiap Waya Masapi, ada sembilan keluarga yang bergantian berjaga setiap malamnya, menunggu ikan Sidat terjebak di bubu yang dipasang di dalam Waya Masapi. Setiap keluarga yang menjaga di Waya percaya, mereka saling berbagi rezeki. Jika satu keluarga mendapatkan ikan pada malam hari, sementara yang lainnya tidak mendapatkan ikan pada malam berikutnya, ini tidak menimbulkan kecemburuan.

Jumlah ganjil menjadi penting di Waya Masapi. Setiap ruas bambu yang diikat berada pada angka ganjil. Filosofinya kata Fredi, bahwa apa yang dilakukan manusia memiliki kekurangan yang ditandai dengan angka ganjil, dan sang pencipta yang akan menggenapinya dengan anugerah melalui alam.

Tradisi Waya Masapi menjadi simbol kebersamaan warga dalam pengelolaan sumber daya alam, dengan konsep bersolidaritas dan berbagi. 

“Kami hanya mengambil apa yang Tuhan berikan,” katanya, mengenang kata-kata ibunya. Tradisi ini telah membantu perekenomian banyak keluarga masyarakat lokal Pamona hingga bisa menyekolahkan anak-anak ke perguruan tinggi. Namun, perubahan besar menghantam mereka ketika proyek Poso River Improvement (PRI)  atau penataan sungai Poso TAHUN 2019.

“Ini bukan hanya soal uang yang kami hasilkan dari menjual Sogili. Ini soal budaya leluhur yang harus kami pertahankan. Tanah kami di Tentena, masih kaya sumber daya alam yang bisa kami kelola kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan,” ujarnya.

Fredi yang mulai menua, akan mewariskan tradisi kepada anak ketiganya sebagai generasi keempat pewaris Waya Masapi. Saat ini putranya sebagai pewaris yang masih duduk di dibangku Sekolah Menengha Atas (SMA), sudah sering ikut menjaga Waya Masapi.

Sebelum pengembangan PLTA Poso, Waya Masapi milik Fredi mampu menghasilkan ikan sidat hingga 40 kg per hari. Dengan harga jual terendah Rp 90 ribu hingga Rp 100 ribu per kilogram. Pendapatannya bisa mencapai ratusan juta per bulan. Kini, hasil tangkapan itu anjlok drastis. 

“Sekarang, dalam sebulan hanya dapat 40 kg. Itupun kalau beruntung,” ujar Fredi dengan nada pahit. Ikan yang tertangkap pun ukurannya kecil, jauh dari ukuran yang mereka dapatkan sebelumnya.

Fredi mengenang masa lalu dengan penuh kegetiran. Dahulu, Waya Masapi berdiri kokoh di sepanjang Danau Poso. Ada sekitar 300 unit yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Kini, hanya tersisa tiga unit, termasuk miliknya. Yang lain telah hilang, diruntuhkan oleh pengerukan dasar danau atau dilepas setelah menerima kompensasi perusahaan. Tetapi bagi Fredi, uang kompensasi bukan solusi. 

Setiap pagi, Fredi memeriksa Waya Masapi, berharap menemukan ikan sidat di dalamnya. Namun sering kali pulang dengan tangan hampa. Usai memeriksa perangkap, ia beralih ke kebun yang tidak jauh dari rumahnya. 

Pertanian kini menjadi sandaran hidupnya yang baru. Meskipun hasil panen tidak sebanyak tangkapan ikan Sidat dulu, Fredi tetap berjuang. Baginya, ketakutan terdalam bukan tentang pendapatan, tapi bagaimana mempertahankan tradisi  sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhurnya.

Fredi bukan satu-satunya yang merasa kehilangan. Di Tentena, komunitas suku Pamona lainnya juga merasakan hal serupa. Bagi mereka, Waya Masapi adalah identitas, pengingat akan akar mereka. Tradisi ini mengajarkan mereka tentang gotong royong, kesederhanaan, dan keseimbangan dengan alam. Namun kini, mereka hanya bisa menyaksikan perlahan tradisi itu terkikis oleh modernisasi. 

Fredi kini berdiri sebagai benteng terakhir tradisi Waya Masapi. Di tengah tekanan ekonomi, keputusannya mempertahankan warisan leluhur adalah cerminan keberanian. Fredi tidak ingin tradisi Waya Masapi lenyap seperti Jembatan Yondo mPamona.

Proses pembongkaran jembatan Yondo mPamona oleh Poso Energy didungkun pemerintah Kabupaten Poso rahun 2019. Jembatan kayu peninggala bundaya Masale (Gotongroyong) suku Pamona sudah dibangun sejak ratusan tahun. FOTO : DOK MOSINTUWU
Jembatan Yondo mPamona setelah direnovasi Poso Energy menggunakan rangka besi. Masyarakat lokal Pamona menolak pemberian nama Yondo mPamon karena mereka menggangap tidak sesuai dengan sejarahnya. Sampai saat ini masyarakat lokal menyebut jembatan itu dengan nama Jembatan Bukaka. FOTO : KARTINI NAINGGOLAN/MS

Perlawanan Masyarakat Adat Pamona

Energi baru terbarukan (EBT) kini menjadi fokus utama banyak perusahaan energi dan lembaga kelistrikan yang berinvestasi dalam proyek ramah lingkungan. Salah satu proyek yang sedang dikembangkan Poso Energy dengan kapasitas 515 megawatt (MW) yang berlokasi di Desa Sulawena, Kabupaten Poso, Sulteng sejak tahun 2015.

Poso Energy telah mengembangkan solusi energi hijau yang inovatif melalui pemanfaatan sumber daya air Danau Poso. Perusahaan ini membangun PLTA, yang memanfaatkan air dari Danau Poso dan menggabungkan teknologi canggih berupa turbin air untuk mengonversi potensi hidroenergi menjadi listrik.

Meskipun proyek ini menghasilkan energi bersih, pengembangan PLTA ini membawa konsekuensi yang tidak bisa diabaikan terhadap warisan budaya masyarakat Pamona. Satu persatu peninggalan budaya leluhur hilang, beberapa tradisi adat mulai tergeser oleh kepentingan untuk pengembangan PLTA. 

Masyarakat adat yang selama berabad-abad bergantung pada sumber daya alam dari danau Poso, kini menghadapi ancaman serius terhadap kelangsungan hidup dan budaya mereka. 

Perlawanan masyarakat lokal Pamona di Poso terhadap proyek PLTA oleh PT Poso Energy sudah ada sejak tahun 2015 saat PT Hadji Kalla dan PT.Bukuka Hydropower Engineering & Consulting Company memulai pembangunan proyek. Isu perlawanan terkait ganti rugi tanah yang tidak adil, diskriminasi perekrutan tenaga kerja, dan kurangnya transparansi lingkungan. 

Puncak perlawanan masyarakat kembali terjadi pada tahun 2019 ketika proyek Poso River Improvement (PRI)  atau penataan sungai Poso yang menyebabkan jembatan Yondo mPamona, sebuah jembatan bersejarah peninggalan leluhur suku Pamona di bongkar oleh Poso Energi 

Dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Nomor  01/III/DPM-PTSP/2019 yang didukung oleh rekomendasi keputusan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulteng Nomor 600/140/BTD.I/DISLH bahwa kegiatan PRI ditujukan untuk menjaga ketersediaan pasokan air untuk membangkitkan energi listrik pada kebutuhan beban puncak dari PLTA Poso.  

9 kegiatan utama PRI sesuai yang tertuang dalam ANDAL, empat diantaranya mengancam keberlanjutan budaya dan tradisi suku Pamona.

Terdapat Sembilan kegiatan utama PRI sesuai yang tertuang dalam ANDAL, empat diantaranya mengancam keberlanjutan budaya dan tradisi suku Pamona, mulai dari renovasi jembatan kayu pamona (Yondo mPamona) dengan memodifikasi rangka jembatan menggunakan rangka baja, pengerukan sungai (dredging), penataan material hasil pengerukan menjadi area taman konservasi yang menyesuaikan dengan tata ruang kabupaten Poso, dan penataan pagar Sogili atau Waya Masapi.

Tahun 2021, proyek PRI telah berhasil memodifikasi jembata Yondo mPamona dengan membongkar total bentuknya. Material besi menggantikan seluruh material kayu. Jembatan ini dibangun awal abad ke-20 untuk membuka akses pengangkutan hasil pertanian warga yang berada diseberang timur Sungai Poso.

Dengan semangat gotong royong, masyarakat dari beberapa desa abad itu, membangun jembatan darurat dari bambu dan daun rumbia. Seiring waktu, tiang-tiang bambu digantikan dengan kayu untuk meningkatkan ketahanan.

Jembatan Yondo mPamona awal abad ke-20 masih menggunakan material bambu dan atap rumbia.FOTO ; ARSIP DINAS KEBUDAYAAN KAB. POSO

Jembatan ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana penghubung fisik, tetapi juga menjadi ikon budaya dan simbol kebersamaan suku Pamona. Pembongkaran tahun 2021 menimbulkan kontroversi. 

Masyarakat lokal Pamona menolak menamakan jembatan baru dengan nama yang sama, karena dianggap menghilangkan nilai sejarah dan memanipulasi terhadap cerita asli jembatan Yondo mPamona. Saat ini masyatakat menyebutnya sebagai jembatan “Bukaka” karena dibangun oleh PT Poso Energy anak perusahaan dari PT Bukaka.

Ditahun yang sama, pembangunan taman konservasi yang tertuang dalam ANDAL juga dilaksanakan di Kompo Dongi. Ini adalah wilayah kelolah rakyat yang secara turun temurun telah menjadi area tangkap ikan secara tradisional yang disebut dengan Mosango oleh warga Tentena dan sekitarnya. 

Mosango dilakukan secara masal oleh penduduk dari desa-desa sekitar dengan menggunakan perangkan ikan yang terbuat dari anyaman bambu. Mosango dilaksanakan saat volume air Sungai Poso menyusut mengikuti iklim dan cuaca secara alamiah. Hasil dari Mosango adalah hasil berbagi bersama, sehingga semua warga yang terlibat akan membawa pulang hasil tangkap ikan mereka. 

Wilayah perkampungan penduduk sekitar Kompo Dongi disebut dengan nama Dongi, Tendea Dongi dan Petiro Dongi cukup luas dan sumber ikan yang melimpah. Proyek PRI telah dilaksanakan, dan wilayah Kompo Dongi yang bersejarah itu akhirnya bertransformasi menjadi area terbuka baru buatan manusia.

Tahun 2021, Poso Energy mulai melakukan pembongkaran Waya Masapi atau Pagar Sogili milik warga yang telah mendapatkan kompensasi. Sampai saat ini, Waya Masapi milik Fredi Kalengke sebagai satu-satunya tradisi budaya suku Pamona yang tetap berdiri kokoh di danau Poso.

PETA SATELIT 2018 – Masih terlihat banyak Waya Masapi disepanjang danau Poso. FOTO : GOOGLE EARTH
PETA SATELIT 2023 – Tertinggal tiga Waya Masapi di danau Poso pasca pembongkaran yang dilakukan Perusahaan untuk pengembangan PLTA. FOTO : GOOGLE EARTH

Ketua dewan adat kelurahan Pamona, Kritian Bontinge mengaku pesimis tradisi Waya Masapi akan bertahan walaupun Fredi sebagai satu-satunya pemilik yang tetap bertahan. Meskipun ada yang menolak, pekerjaan pengembangan proyek PLTA secara massif akan terus berjalan. 

Sebagai bagian dari aliansi penyelamat danau Poso, Kristian tidak bisa menyalahkan masyarakat jika terpaksa kalah dan menyerahkan peninggalan leluhur mereka yaitu Waya Masapi dibongkar. Apalagi kekalahan itu menyangkut kepentingan hidup mereka. Bukan hanya dipaksa kalah, tradisi Waya Masapi juga dipaksa punah karena kepentingan perusahaan yang ikut didukung oleh pemerintah.

“Selama ini pemerintah tidak pernah berpihak kepada kepentingan masyarakat di Poso,” ujarnya.

Maeka, anggota Front Aksi untuk Rano Poso (FARP) mengatakan, alasan perlawanan masyarakat lokal Pamona juga diakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat pada janji-janji Perusahaan saat mulai dibuka tahun 2015 silam. 

“Tiada (tidak) carita ini Bukaka ini dari dulu papandusta (pendusta). Mana buktinya air tejun Sulewana dorang (mereka) mo jaga. So tiada (sudah tidak ada). Belasan tahun malawan dorang ini, tiada satupun kesepakatan yang dorang patuhi. Kong (dengan itu) kamu mo harap torang pecaya?” kata Maeka.

Pengalaman para aktivis ini, menjadi cerminan inkonsistensi pihak perusahaan pada kesepakatan-kesepatan yang dibuat bersama masyarakat. Karena itu, setiap kegiatan proyek perusahaan perlu dicurigai dan bahkan harus dilawan. 

Menurut Maeka, jika setiap proyek Poso Energi untuk pengembangan PLTA tidak dilawan, tidak tertutup kemungkinan proyek PLTA Poso bisa sampai pada tahan PLTA Poso-5, 6,7 dan seterusnya.

FOTO UDARA DANAU POSO 2018 – Masih terlihat banyak Waya Masapi. FOTO : DOK MOSINTUWU
FOTO UDARA DANAU POSO 2023 – Aliran Sungai Poso sudah dikeruk, jumlah Waya Masapi Berkurang. FOTO : DOK MOSINTUWU

Menghilangkan Tradisi Melanggar Undang-Undang

Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan dan Pelestarian Kebudayaan Dinas Kebudayaan Provinsi Sulteng, Drs Iksam Djorimi, M.Hum mengatakan menghilangkan tradisi atau budaya di satu daerah adalah bentuk pelanggaran Undang-Undang(UU). 

Tradisi Waya Masapi, sebagai warisan budaya suku Pamona, memiliki dasar hukum yang kuat untuk dilindungi. Tradisi ini termasuk dalam kategori Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), yang dilindungi oleh UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Menurut Iksam, pemerintah daerah Kabupaten Poso melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus segera mengambil langkah konkret dengan mendaftarkan Waya Masapi ke dalam Data Pokok Kebudayaan (Dapobud) di tingkat kabupaten. 

“Setelah terdaftar, proses ini dapat dilanjutkan ke tingkat provinsi dan diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional. Jika sudah ditetapkan, status ini akan mengikat secara hukum dan menjamin pelindungan tradisi tersebut,” kata Iksam, Selasa (17/12/2024).

Menurutnya, hubungan antara masyarakat adat suku Pamona dan Danau Poso adalah bagian integral dari sejarah dan kebudayaan lokal yang telah ada sejak awal kehidupan di wilayah tersebut. 

“Menghilangkan tradisi ini sama dengan mencabut akar budaya masyarakat Pamona. Danau Poso dan kehidupan masyarakat adat sekitarnya tidak dapat dipisahkan,” tegasnya.

Penurunan jumlah Waya Masapi akibat proyek strategis, seperti pembangunan PLTA Poso, menjadi perhatian serius. Dari pantauan beberapa tahun terakhir, Waya Masapi telah berkurang drastis dan bahkan hampir punah. 

“Kondisi ini memerlukan penyelamatan segera. Pelestarian kebudayaan harus dimulai dari tiga langkah utama, yaitu pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan,” ujar Iksam.

Terkait proyek pembangunan energi, Iksam mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah harus memperhatikan dampak negatif terhadap tradisi budaya dan lingkungan. 

“Jika proyek strategis sudah terbangun, upaya mitigasi diperlukan untuk mengurangi dampak buruk. Jangan sampai ada lagi kegiatan yang mengubah bentang alam atau menggusur situs budaya di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Poso,” katanya.

Ia juga menekankan perlunya komitmen dari pemerintah daerah, masyarakat, dan perusahaan untuk memastikan pelindungan tradisi budaya yang masih hidup. 

“Contohnya, beberapa tahun lalu ada kesepakatan dengan perusahaan terkait pembuatan jalan yang nyaris menggusur situs penguburan leluhur. Melalui dialog dan komitmen bersama, solusi dapat dicapai tanpa merusak nilai budaya. Demikian dengan tradisi Wayamasapi, seharunya pemerintah maupun pihak Perusahaan duduk bersama untuk bisa melahirkan satu kesepakatan yang tidak merugikan pihak manapun,” terang Iksam.

Menanggapi pernyataan pihak tertentu yang menyebut Waya Masapi bukan bagian dari budaya, Iksam menolak dengan tegas. 

“Itu pernyataan yang keliru. Tradisi Waya Masapi jelas-jelas bagian dari warisan budaya suku Pamona yang memiliki nilai sejarah dan filosofi tinggi. Pemerintah daerah harus mendukung penuh pelestarian tradisi ini,” pungkasnya.

Peneliti : Pengerukan dan Bendungan PLTA Merusak Habitat Danau Poso

Poso Energy telah melakukan pengerukan dasar danau Poso yang merupakan salah satu bagian dari proyek PRI. Tujuan utama pengerukan ini adalah untuk mendapatkan tambahan volume air yang dibutuhkan untuk mengoperasikan PLTA Poso, khususnya PLTA Poso-1 dan PLTA Poso-3.

Namun, pengerukan dasar Danau Poso ini memicu banyak kontroversi dan perlawanan dari masyarakat adat Pamona. Mereka menilai pengerukan tersebut merusak ekosistem Danau Poso dan mengancam sumber penghidupan masyarakat yang bergantung pada danau, seperti nelayan, petani, dan peternak.

Pengerukan dasar danau mengubah kondisi alami danau, seperti kedalaman, arus, dan sedimentasi. Hal ini berdampak pada habitat ikan dan biota air lainnya khususnya ikan Sogili atau Sidat, sehingga mengancam keanekaragaman hayati Danau Poso.

Pengerukan Sungai Poso, yang terhubung dengan Danau Poso, mengubah arus dan kedalaman sungai, sehingga mengancam keberadaan Waya Masapi (pagar sogili) yang merupakan warisan kearifan lokal To Pamona (orang Pamona) dalam menangkap ikan Sogili secara lestari.

Doktor Lukman, mantan peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, pengerukan outlet atau aliran sungai dari danau ke laut untuk PLTA dikhawatirkan akan menyebabkan penyurutan luas wilayah litoral yang kaya hewan akuatik, plankton, dan berbagai hewan lainnya. Padahal wilayah itu berfungsi sebagai tempat ikan mencari makan.

“Akan terjadi penyurutan wilayah litoral jika pengerukan itu berlangsung, karena dengan pengerukan outlet itu akan menurunkan muka air danau dan fluktuasi muka air juga akan berubah,” kata Lukman dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.

Sejak 2019, sudah dilakukan pengerukan outlet danau sepanjang 12,8 kilometer. Pengerukan itu antara lain untuk memenuhi kebutuhan debit air PLTA Poso .

Proses pengerukan dasar danau Poso oleh Poso Energi senagai bagian dari kegiatan proyek PRI. Pengerukan ini mengakibatkan terganggunja ekosistem danau Poso dan pembongkaran Waya Masapi. FOTO : KARTINI NAINGGOLAN/MS

Lukman menjelaskan, banjir akibat luapan air danau sering menjadi pembenaran untuk melakukan pengerukan danau yang berakibat penurunan permukaan danau. Namun, penurunan permukaan danau itu menghilangkan pola pasang-surut air pada musim hujan dan musim kemarau untuk menggenangi tepian. Padahal, wilayah tepian yang kaya biota itu membutuhkan genangan air dalam jumlah yang memadai.

“Secara ekosistem danau, itu menganggu sebetulnya. Yang sudah kita lihat adalah terputusnya alur ruaya di sungai Poso dengan adanya pembangunan untuk bendungan PLTA” ungkapnya.

Sementara itu, Profesor Krismono, peneliti ahli utama dari Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), mengungkapkan keberadaan bendungan PLTA telah memutus alur ruaya atau migrasi alami ikan tersebut. Ikan sejenis belut yang bernilai ekonomi tinggi itu, menghabiskan separuh siklusnya hidupnya di laut dan separuh di air tawar. Siklus hidup yang unik itu membuat ikan sidat sulit diternakkan secara komersial.

Ikan endemik danau Poso itu berenang menuju teluk Tomini untuk kawin, bertelur, dan kemudian mati.

Anak-anak ikan sidat yang menetas di laut, akan berenang menuju muara dan masuk ke danau Poso untuk berkembang menjadi induk. Keberadaan bendungan PLTA Poso menghadang ruaya anak-anak ikan sidat menuju danau Poso. Situasi itu sudah dicoba diatasi dengan pembuatan fishway atau jalan ikan, tapi tidak efektif karena banyak anak ikan sidat atau elver tersangkut di kaki bendungan.

“Sebelum naik ke danau, sekarangkan ada bendungan, jadi tertahan di intake (celah masuk air), di sini banyak elver yang berukuran sekitar 15 centimeter yang seharusnya sudah bisa naik ke danau, tertahan di sini. Ini yang terjadi pada saat ini,” ungkap Krismono.

Putusnya Jalur Ruaya Menghilangkan Sumber Nutrisi Warga Poso

Hasil penelitian oleh Pusat Riset Mikrobiologi Terapan (PRMT) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa ikan sidat memiliki kandungan gizi yang jauh lebih tinggi dibandingkan ikan salmon, terutama dalam hal DHA (Decosahexaenoic acid) yang penting untuk perkembangan otak. 

Dalam 100 gram ikan sidat, terdapat 742 mg DHA, jauh melebihi ikan salmon yang hanya mengandung 492 mg. Selain itu, kandungan Omega-3 pada ikan sidat mencapai 10,9 dibandingkan dengan salmon yang hanya 6,3.

Keunggulan lain terletak pada kandungan vitaminnya. Ikan sidat memiliki kandungan vitamin A hingga 45 kali lipat lebih tinggi dari susu sapi, sementara vitamin B1 mencapai 25 kali lipat dibandingkan susu sapi. Dengan manfaat luar biasa ini, ikan sidat menjadi sumber protein dan gizi yang sangat potensial, terutama bagi pertumbuhan anak-anak.

Berdasarkan data trademap, permintaan ikan sidat dalam lima tahun terakhir berada di kisaran 17.000–21.000 ton per tahun, dengan mayoritas berupa sidat hidup. Negara-negara seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Belanda menjadi tujuan utama ekspor, mencakup 70% dari total permintaan global. Jepang menjadi konsumen terbesar dengan kebutuhan mencapai 26,98%, disusul China (20,63%) dan Korea Selatan (12,77%).

Nilai impor global ikan sidat pada 2020 mencapai USD 530 juta atau setara Rp7,4 triliun. Indonesia sendiri menyumbang sekitar 10.000 ton per tahun atau 25% dari total kebutuhan dunia. Dengan harga ekspor yang pernah mencapai Rp573.441/kg pada 2019.

Di balik potensi besar, Kabupaten Poso menghadapi tantangan serius terkait ketersediaan ikan sidat sebagai sumber protein lokal. Nelayan setempat, seperti to ponyilo, hanya mampu menangkap 5–10 kg ikan sidat per malam dalam kondisi beruntung. Padahal, harga ikan sidat lokal berkisar antara Rp90.000–Rp100.000 per kg, yang cukup mahal bagi sebagian besar penduduk setempat.

Data Susenas 2022 menunjukkan bahwa 15,18% penduduk Poso, atau sekitar 40.780 jiwa, tergolong miskin. Sebagian besar adalah petani yang mengalokasikan lebih dari 60% pengeluaran untuk kebutuhan makanan. Bahkan, riset Litbang Kompas 2022 menyebutkan bahwa 57% penduduk Sulteng tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi seimbang, angka yang meningkat menjadi 68% jika menggunakan standar FAO.
Menurut Novia Tri Rahmawati dari Direktorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan, sidat dapat menjadi bagian penting dari strategi Ekonomi Biru untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Dengan potensi produksi mencapai 8,3 ton per tahun di Kabupaten Poso, pengelolaan perikanan yang berkelanjutan sangat diperlukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sarnita pada tahun 1973 mengungkapkan bahwa estimasi produksi sidat di Danau Poso pada tahun 1970 mencapai 22 ton per tahun, berdasarkan alat tangkap yang terpasang di Sungai Poso. Angka ini menunjukkan potensi produksi perikanan yang cukup besar. Pada tahun 1980, produksi sidat meningkat menjadi 41,5 ton, namun pada 1998 kembali menurun menjadi sekitar 30,5 ton.

Data lebih lanjut dari Laporan Dinas Perikanan DT II Poso menyebutkan bahwa produksi Sidat pada tahun 1990 tercatat sebanyak 41,5 ton, namun pada tahun 1998 menurun menjadi 30,5 ton. Hasil penelitian pada tahun 2004-2005 memperkirakan tangkapan sidat di Danau Poso sekitar 22-54 ton per tahun, yang berkontribusi sekitar 40% dari total hasil tangkapan ikan di danau tersebut.

Pada tahun 2006, produksi sidat mencapai 9,1 ton, yang berperan 51% dari total produksi perikanan di Danau Poso. Angka ini berdasarkan data dari KCD Perikanan Kecamatan Pamona. Namun, meski produksi sidat sempat mengalami penurunan, tantangan baru muncul akibat gangguan jalur ruaya sidat, yang kini memerlukan solusi agar Glass Eel (anak sidat) bisa melewati dua bendungan yang ada di Sungai Poso, menghubungkan muara Teluk Tomini dengan Danau Poso.

Sebagai informasi, Profil Perikanan Budidaya Kabupaten Poso tahun 2023 mencatatkan total produksi perikanan budidaya mencapai 4.586,83 ton dengan nilai produksi sebesar Rp90.979.234.000. Namun, data spesifik mengenai produksi sidat di Kabupaten Poso pada tahun tersebut tidak tersedia dalam laporan tersebut.

Tradisi Wayamasapi Terkesan Kumuh Dimata Poso Energy

Tradisi menangkap ikan jenis Sidat atau Sogili dengan menggunakan pagar Sogili atau Waya Masapi terkesan kumuh dimata Poso energy yang melakukan proyek PRI.

Manager lingkungan dan CSR PT. Poso Energy, Irma Suryani mengatakan, keberadaan pagar Sogili di sekitar jembatan Yondo Mpamona, Tentena, Kecamatan Pamona Puselemba terkesan kumuh, sehingga rencananya sesudah penggerukan dasar danau akan ditata Kembali.

Pengerukan sudah dilakukan, namun hingga kini tak satupun pagar Sogili itu ditata kembali oleh pihak Perusahaan. Hanya Waya Masapi milik Fredy Kalengke warga suku Pamona yang masih berdiri kokoh.

“Pagar Sogili disekitar jembatan terkesan kumuh. Rencana pemerintah akan mengatur pagar Sogili menjadi zig-zag,” kata Irma saat melakukan konferensi pers via zoom metting.

Selain itu kata dia, hasil penelitian LIPI, keberadaan Waya Masapi disekita jembatan, menghambat Sidat bermigrsi menuju ke arah laut. 

Bahkan Irma mengungkapakn bahwa Waya Masapi bukan bagian dari budaya masyarakat, namun itu hanya tata cara masyarakat menangkap ikan yang sudah dilakukan oleh orang tua mereka.

Dalam ekosistemnya, sidat memiliki siklus hidup yang unik, bermigrasi dari sungai dan danau menuju lautan untuk berkembang biak. Namun, pagar sogili dan Waya Masapi, menurut Irma, menjadi kendala utama bagi perjalanan alami mereka.

Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Poso Energy (PE) kembali melakukan Restocking (melepasliarkan) belasan ekor ikan sidat jenis Anguilla Marmorata di sungai Poso.FOTO : DOK POSO ENERGY

Restocking dan Rehabilitasi : Upaya PT Poso Energy Menjaga Danau Poso?

PLTA Poso memiliki kapasitas 515 MW, menjadikannya pembangkit energi baru terbarukan (EBT) terbesar di kawasan Indonesia Timur. Dengan skema Build-Operate-Transfer (BOT), proyek ini akan diserahkan kepada PT PLN (Persero) setelah masa operasional 30 tahun. Energi yang dihasilkan dari PLTA ini digunakan untuk melayani beban puncak di wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara, membawa dampak positif bagi sistem kelistrikan di daerah-daerah tersebut.

Humas PT Poso Energy, M Syafri mengungkapakan bahwa perusahaan berkomitmen menjaga ketersediaan air dan kelestarian ekosistem di sekitar dua bangunan air PLTA Poso, yaitu Regulating DAM dan Weir. 

Untuk mendukung keanekaragaman hayati, kedua fasilitas ini telah dilengkapi dengan jalur migrasi ikan atau fishway, yang memungkinkan ikan bermigrasi dari danau ke muara dan sebaliknya. Efektivitas fishway ini telah diuji secara ilmiah oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Dinas Perikanan Kabupaten Poso dan Fakultas Perikanan Universitas Tadulako Palu.

Sejak tahun 2012, PT Poso Energy juga telah menjalankan program restocking ikan sidat atau Sogili yang merupakan spesies endemik Danau Poso. Hingga saat ini, sebanyak 1.045 kg ikan telah dilepaskan kembali ke ekosistem, baik di muara Sungai Poso maupun di danau. Program ini tidak hanya melibatkan perusahaan tetapi juga mengikutsertakan berbagai pihak, termasuk Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC), komunitas bengkel sidat di Poso, serta pelaku konservasi lokal. Salah satu metode yang digunakan dalam pelestarian adalah tagging ikan di beberapa titik di hulu dan hilir sungai untuk memantau pola migrasi dan populasi ikan sidat secara efektif.

Selain itu kata Syafri, pelestarian lingkungan di sekitar Danau Poso juga mencakup rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) yang kritis. Berdasarkan peta lahan kritis dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Palu-Poso, PT Poso Energy aktif melakukan identifikasi dan pemulihan lahan yang membutuhkan perhatian. 

Kegiatan ini melibatkan masyarakat lokal, yang diberdayakan melalui pendekatan kolaboratif. Perusahaan bekerja sama dengan kelompok masyarakat pemilik lahan kritis untuk menentukan jenis tanaman tergantung komoditas unggulan di daerah tersebut seperti durian dan alpukat, kemudian berdasarkan usulan masyarakat untuk tanaman produktif. Perusahaan juga menambahkan dengan jenis-jenis tanaman keras atau tanaman kayu sebagai tanaman pendamping. Selanjutnya membentuk kelompok tani, memberikan penyuluhan, serta mendistribusikan bibit tanaman.

Proses rehabilitasi tidak berhenti pada tahap penanaman. PT Poso Energy juga memberikan pendampingan dalam pemeliharaan tanaman, pelatihan pembuatan pupuk organik, dan aplikasinya. 

Jenis tanaman yang dipilih kata Syafri, bervariasi sesuai dengan kebutuhan lokal, termasuk tanaman keras dan kayu yang mendukung keberlanjutan ekosistem. Dengan pendekatan ini, perusahaan tidak hanya memperbaiki kualitas lingkungan tetapi juga meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

Menurutnya, keterlibatan masyarakat adalah inti dari pendekatan PT Poso Energy dalam melestarikan lingkungan. Di sekitar Danau Poso, program rehabilitasi tidak hanya membantu menjaga keseimbangan ekosistem tetapi juga memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat lokal. 

Dengan mengintegrasikan upaya konservasi dengan pemberdayaan masyarakat, PT Poso Energy berusaha menciptakan hubungan yang harmonis antara pembangunan dan keberlanjutan.

Sebagai salah satu langkah konkret dalam mendukung pelestarian lanjut Syafri, PT Poso Energy terus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, organisasi lingkungan, dan lembaga akademik. 

Kolaborasi ini memastikan bahwa upaya yang dilakukan bersifat holistik dan berbasis data ilmiah. Contohnya, studi-studi yang dilakukan bersama BRIN dan universitas lokal memberikan dasar yang kuat untuk mengembangkan program-program konservasi yang lebih efektif.

PLTA Poso Energy di Tentena, Kabupaten Poso. FOTO : DOK POSO ENERGY

PLTA Poso : Solusi Energi atau Sumber Masalah Baru?

Ketua Mosintuwu Institute, Lian Gogali yang aktif mendampingi penjuangan masyarakat adat di Poso dalam mempertahankan tradisi pasca pengembangan PLTA Poso memiliki pendapat berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh pihak Poso Energy. Menurutnya, dampak dari proyek PLTA di Danau Poso masih terus dirasakan oleh masyarakat sekitar, terutama di sektor perikanan dan pertanian. Wilayah pertanian di sekitar Danau Poso yang sempat terendam akibat uji coba pintu air, mengalami kerusakan serius. 

Ketika air surut dan lahan kembali dapat diolah, kawasan tersebut sudah ditumbuhi semak belukar dan pepohonan, sehingga membutuhkan biaya besar untuk pemulihannya. Kerugian yang dialami petani semakin diperburuk, karena ketidakpastian mengenai ketinggian air yang dipertahankan oleh PLTA.

Selain pertanian, sektor peternakan di wilayah Desa Tokilo, Tolambo, dan Pasir Kutian juga terdampak. Lian Gogali menekankan bahwa masyarakat yang dahulu bebas memelihara kerbau sebagai investasi keluarga kini harus membatasi jumlah ternaknya akibat menyusutnya lahan pakan ternak. 

“Kerbau bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga bagian dari kebudayaan mereka. Pembatasan ini telah mengurangi investasi dan menekan perekonomian masyarakat,” kata Lian, Selasa (17/12/2024).

Sementara itu, di sektor perikanan, keberadaan karamba dan tradisi menangkap ikan Sidat, Mujair, dan Rono, seperti Mosango dan Monyilo, ikut tergerus. Tradisi Mosango yang dahulu melimpah kini hanya menghasilkan ikan berukuran kecil akibat reklamasi dan sedimentasi yang mengubah ekosistem danau. 

Menurutnya, dampak ini tidak dapat diselesaikan melalui kebijakan ganti rugi ekonomi semata, karena kerusakan yang terjadi meliputi identitas budaya dan ekosistem yang tak ternilai harganya. 

“Bagaimana mungkin kita mengganti rugi kebudayaan dan identitas? Kerugian ini jauh lebih dalam dari sekadar kehilangan ekonomi,” tegas Lian.

Dalam konteks hubungan antara masyarakat Poso dan Danau Poso, Lian menjelaskan bahwa danau bukan hanya sekadar sumber daya, melainkan bagian integral dari kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Mereka menyebut Danau Poso dengan istilah Sira, yang berarti beliau, sebagai bentuk penghormatan tertinggi. Namun, perspektif ini bertentangan dengan pendekatan eksploitasi sumber daya yang dilakukan oleh perusahaan energi.

Lian Gogali mengusulkan perlunya moratorium proyek PLTA dan mereview kebijakan pembangunan energy yang akan terus berkembang. Kebijakan tersebut harus menghormati hubungan emosional dan budaya masyarakat dengan Danau Poso, serta memastikan pembangunan yang memuliakan alam dan menyejahterakan masyarakat, bukan sekadar eksploitasi untuk kepentingan investor. 

Menurut Lian, konflik energi terbarukan bukan terletak pada energinya, melainkan pada konsep dan metode pelaksanaannya. Proyek yang bertujuan menghasilkan energi bersih seperti PLTA harus dijalankan dengan memperhatikan ekosistem dan hak masyarakat lokal. Sayangnya, dalam praktiknya, proyek semacam ini justru merusak lingkungan, menciptakan ketimpangan ekonomi, dan menyingkirkan masyarakat akar rumput.

Lian juga menyoroti janji-janji kompensasi dan upaya konservasi yang dilakukan perusahaan, seperti pembangunan fishway untuk sidat dan penanaman pohon. Menurutnya, upaya tersebut tidak sebanding dengan kerusakan yang telah terjadi dan hanya berfungsi sebagai upaya untuk meredam kritik. 

“Bagaimana kita bisa percaya pada konservasi ketika realitas menunjukkan bahwa ekosistem Danau Poso telah rusak. Tidak ada yang bisa menggantikan kerugian yang sudah terjadi,” ungkapnya.

Ia menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan energi terbarukan agar tidak sekadar menjadi jargon yang menutupi kenyataan. Proyek energi harus benar-benar dirancang untuk menghormati alam dan mensejahterakan masyarakat, bukan sekadar memenuhi kepentingan bisnis atau industri ekstraktif.

Kegiatan pelepasliaran Sidat di Danau Poso oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Poso dan FAO di Dermaga Dodoha, 21 April 2022. Foto : Dok.Mosintuwu

Lian Gogali, mengatakan bahwa tim peneliti dari Mosintuwu pernah melakukan penelitian uji restocking sidat untuk kontinuitas produktivitas sidat demi ketahanan pangan setempat. Penelitian tersebut dilakukan bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Food and Agriculture Organization (FAO), dan PT. Trans Intra Asia pada tahun 2022.

Menurutnya, proses restocking tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi, melepas anakan sidat di Danau Poso sudah berkali-kali dilakukan oleh pemerintah maupun perusahaan, namun sering kali gagal.

Berdasarkan penelitian, Lian menjelaskan bahwa proses melepas anak sidat di danau membutuhkan waktu yang panjang dan biaya yang mahal, khususnya untuk kebutuhan pakannya hingga dapat diproduksi. Proses perkembangan tubuh ikan sidat yang terbilang lambat juga menjadi salah satu kendala. Hal ini yang menyebabkan nelayan kurang berminat untuk melakukannya.

Hasil penelitian menyebutkan bahwa restocking tidak efektif sebagai bentuk pelestarian untuk memastikan bahwa ikan sidat akan tetap ada di Danau Poso.

“Hasil penelitian sudah membuktikan bahwa ikan sidat akan berangsur-angsur punah,” ujarnya.

Terkait dengan PT Poso Energy yang membuat fasilitas tangga ikan (fish way), Lian berpendapat bahwa hal tersebut tidak efektif. Fasilitas fish way yang dibuat untuk memberi akses sidat dari hilir ke hulu masih perlu dipertanyakan keefektifannya.

Menurutnya, di Sungai Poso kini telah berdiri dua bendungan PLTA yang berpotensi mengganggu perjalanan migrasi sidat dari Danau Poso menuju laut Teluk Tomini untuk bertelur. Begitu pula saat anak ikan sidat kembali menuju Danau Poso, mereka akan terhalang saat melintasi turbin.

“Restocking sidat maupun fish way oleh perusahaan adalah usaha yang bagus, tetapi saya tidak bisa memberi apresiasi sepenuhnya. Karena hal yang paling dasar, yaitu menghormati adat dan alam, tidak mereka lakukan,” ujarnya.

Segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Poso Energy yang mengatasnamakan konservasi hanyalah cara untuk menggugurkan kewajiban dan mengubah pola pikir masyarakat. Bahkan, ini bisa dianggap sebagai trik untuk meyakinkan bahwa ikan sidat akan baik-baik saja.***

Pos terkait