Menyorot tajam tatapan Gigoro masuk ke dalam kenangan kelam tentang nasib masyarakat Tobelo Dalam di hutan Ake Jira, Halmahera Timur. Suaranya bergetar saat kembali mengingat bagaimana jejak leluhur menjaga hutan. Tidak serakah dan tak suka mengusik milik orang lain, menjadi marwah masyarakat O Hangana Manyawa.
Laporan : Kartini Nainggolan, Desi Triana, Yunita Kaunar
Namun diakuinya rasa takut itu semakin besar karena ancaman eksploitasi lahan garapan pertambangan terus meluas di hutan Ake Jira yang terletak di wilayah dua kabupaten, yaitu Halmahera Tengah dan Halmahera Timur.
Kali ini, tim liputan melakukan perjalanan hingga ke pedalaman Timur Halmahera untuk melihat langsung dampak aktivitas pertambangan terhadap kekayaan alam Halmahera. Dampaknya tidak hanya terasa dalam bidang sosial ekonomi dan kerusakan lingkungan, melainkan juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat adat di hutan Ake Jira.
Ake Jira di Halmahera Timur menjadi area pengerukan nikel yang menghasilkan bahan mentah lalu dibawa ke pusat pengolahan. Bagi Gigoro, Ake Jira adalah rumah tempat pulang dan itu hal mutlak yang tidak dapat diganggu gugat.
Diusia renta 62 tahun, Gigoro masih memikirkan nasib para tetuah adat hingga generasi O Hangana Manyawa yang masih bertahan di hutan di tengah ancaman pengerukan nikel yang terus menerus.
Gigoro bergetar, matanya memerah hingga sedikit berair. Ia mengungkapkan sulitnya mencari bahan makanan saat ini di hutan, beda seperti dulu. Dengan kondisi ini, kehidupan masyarakat adat O’Hongana Manyawa semakin terjepit. Perubahan ekosistem dan pembatasan ruang hidup mereka memberikan tekanan serius terhadap keberlanjutan cara hidup tradisional mereka.
Pada dasarnya, kehidupan di hutan tidak pernah sekompleks kehidupan di pemukiman warga atau perkotaan. Masyarakat adat hanya fokus pada kebutuhan makan sehari-hari dengan memanfaatkan hasil buruan atau tanaman yang tersedia. Siklus kehidupan di hutan belantara tidak terpengaruh oleh modernisasi.
“Kehidupan di hutan itu, pekerjaan tidak ada yang lain. Cuman hidup cari makan. Macam mencari mo yang lain itu tidak ada,” katanya kepada tim liputan saat disambangi pada 5 November 2023.
Selain itu, masyarakat di Ake Jira hidup berpindah-pindah untuk mencari buruan. Tidak menetap pada satu titik saja. Namun tak akan saling mengusik ataupun menyerobot lahan sesama. Karena jika berani mengambil lahan, taruhannya adalah nyawa.
“Jadi semua saling menghargai wilayah masing-masing,” tuturnya.
Itulah sebabnya, saat alat berat mulai mengeruk lahan hutan, membuat masyarakat adat khawatir dan merasa terancam atas kehidupan mereka. Trauma kala masa penjajahan pun mulai bangkit. Rasa percaya terhadap orang asing sangatlah menipis. Karena hakikatnya, O Hangana Manyawa hidup damai dengan cara mereka sendiri. Namun ketika terusik, maka membuat jiwa mereka ketakutan hingga akhirnya melawan dengan cara mereka pula.
“Sebenarnya, saat rumah kami tidak diusik tentu kami tak pernah akan mengganggu hak milik orang pula. Karena kami tidak suka membuat keributan,” jelasnya.
Jejak sejarah leluhur yang terdapat di hutan Ake Jira harus dijaga dengan baik. Inilah alasan kuat mengapa Gigoro, yang merupakan keturunan keempat dari Suku Tobelo Dalam atau O Hongana Manyawa, bersikeras untuk melakukan perlawanan. Selain itu, pemahaman yang dimilikinya mengenai ancaman terhadap lingkungan tempat ia dibesarkan, termasuk rumah masa kecilnya, semakin memotivasi Gigoro untuk bertindak.
Sosok paruh baya ini meninggalkan hutan Ake Jira sejak usia 14 tahun. Kepergiannya dipicu oleh kematian sang ayah, Duladi, yang diracun dalam konflik pesisir pada tahun 1958. Kehilangan ayah dalam situasi yang sulit membuatnya terpaksa meninggalkan hutan. Bagi masyarakat adat O Hongana Manyawa, ayah bukan hanya tulang punggung, tetapi juga pelindung dan penyelamat yang turun temurun. Setelah kepergian ayah, Gigoro bersama dua saudaranya dan ibunya, beralih ke pemukiman warga di pesisir, khususnya masyarakat Tobelo Luar.
Gigoro berusaha beradaptasi dengan kehidupan masyarakat setempat, meskipun sulit karena terbiasa hidup di hutan yang merupakan rumahnya. Kenangan akan tempat kelahirannya di Hutan Ake Jira tidak pernah terhapus. Meski hidup di pemukiman warga, Gigoro terus mencari nafkah dengan menjual hasil tangkapan dan berkebun, keahliannya menanam dari masa hidupnya di hutan tetap terjaga.
Hidup terus berjalan, dan dengan kesulitan, Gigoro tumbuh menjadi bagian dari masyarakat pesisir. Ia menikah dengan wanita dari Desa Buli Maba, Halmahera Timur, dan memiliki tiga anak yang berhasil menempuh pendidikan tinggi. Meskipun puluhan tahun berada di pemukiman warga, Gigoro tetap mempertahankan identitas kelahirannya di Ake Jira, bahkan menolak pembuatan KTP jika tempat kelahirannya tidak dicantumkan.
Sesekali, Gigoro menyambangi sanak saudaranya yang masih tinggal di hutan belantara, tetapi ia tidak pernah membawa keluarganya karena menyadari bahwa rumah sejatinya bagi O Hongana Manyawa adalah Ake Jira.
Namun, perasaan campur aduk dan kebimbangan menghampiri Ngigoro. Keluarganya di hutan semakin terancam karena lahan yang mereka tempati digusur tanpa izin. Meskipun ada tanda-tanda kehidupan masyarakat adat, tampaknya perusahaan tambang tidak memiliki rasa empati.
Lebih lanjut, kata Gigoro, masyarakat O Hongana Manyawa tidak memahami pekerjaan yang sedang dilakukan oleh perusahaan tambang di hutan Ake Jira saat ini.
“Mereka tidak memahami bahwa kita, masyarakat luar, memiliki cara hidup kita sendiri. Mereka tidak memikirkan tentang keberlanjutan hidup. Mereka hanya berusaha bertahan hidup dengan mencari makan,” katanya.
Oleh karena itu, Gigoro, yang sudah lama tinggal di pemukiman warga dan memahami ancaman terhadap hutan Ake Jira sebagai rumah bagi O Hongana Manyawa, bergerak untuk melakukan perlawanan. Ia melawan untuk melindungi warisan leluhur dan kehidupan masyarakat O Hongana Manyawa agar tidak musnah. Gigoro mengungkapkan kerinduannya pada hutan Ake Jira, tempat di mana ia dilahirkan dan tumbuh menjadi remaja.
“Saya sangat merindukan wilayah ini. Karena wilayah ini adalah wilayah leluhur, di sini terdapat makam. Saya tidak ingin melihatnya tergusur. Jika itu terjadi, saya tidak akan bisa melihatnya lagi,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar.
Mereka Pemilik Sah Hutan Halmahera
Direktur WALHI Maluku Utara Faisal Ratuela menyampaikan, dalam konteks masyarakat adat, terdapat kesalahan yang perlu diperbaiki. Saat ini, para peneliti sedang melakukan reset untuk memahami apa yang diinginkan oleh masyarakat adat dari investasi. Mereka berusaha membangun pemahaman bahwa yang dibangun adalah rumah bagi mereka.
“Tidak ada pembangunan rumah bagi mereka (masyarakat adat), meskipun fisik rumah dibangun di dalam hutan. Hutan adalah rumah bagi mereka,” ujarnya.
Menurutnya, ketika mendekati perspektif yang kita miliki, penting untuk bertanya apakah kita adil jika tidak memasukkan perspektif yang ada dalam pemikiran mereka. Sebenarnya, mereka adalah pemilik sah dan penjaga hutan di Halmahera.
Masyarakat tidak melarang siapapun yang mencari makan di kampung mereka, tetapi mereka berharap tidak diusir dari tanah mereka. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat menetapkan hukum menurut perspektif mereka sendiri, karena mereka kehilangan kepercayaan kepada negara.
“Apa yang terjadi saat ini perlu dievaluasi. Apakah proyek strategis nasional di Halmahera berhasil memberikan keadilan ekonomi yang merata atau tidak,” katanya.
Menurutnya, di sekitar tambang, kriminalisasi terhadap masyarakat adat terus terjadi karena pemerintah mengabaikan pengakuan ruang hidup masyarakat adat untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35 tahun 2012 tentang hutan adat.
“Pengakuan terhadap hutan adat di Halmahera hingga saat ini masih terlunta-lunta,” katanya.
Proses pengakuan hak masyarakat yang sudah dikuasai selama 20-30 tahun harus segera dilakukan.
WALHI mendorong untuk menggugat Kementerian Kehutanan atas pengabaian hak warga, terutama dalam meletakkan proses pengakuan wilayah hutan yang sudah dikuasai masyarakat selama dua atau tiga dekade. Pemerintah masih memandang bahwa kawasan hutan yang dikuasai masyarakat saat ini masih termasuk dalam kawasan hutan, padahal kenyataannya, masyarakat sudah lama berkebun di dalam hutan.
Izin Tambang, Ladang Oknum Nakal Mendapatkan Uang Lebih
Halmahera Tengah diperkirakan menjadi wilayah produktif sumber daya alam dengan banyak IUP. Tak dipungkiri Munadi Kilkoda jika hal tersebut menjadi ladang permainan para oknum untuk mendapatkan uang lebih. Tak hanya kepentingan perusahaan yang ingin menguasai lahan masyarakat adat.
Namun berbagai hal yang dalam prosesnya bisa dimanfaatkan oknum-oknum nakal. Anggota DPRD Kabupaten Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda mengungkapkan, seharusnya pemerintah bisa mendorong adanya Peraturan Daerah (Perda) Perda yang mampu mengawal segala hak-hak masyarakat adat sebagai warga asli di Halmahera Tengah.
Walaupun sejak awal menduduki jabatannya sebagai anggota DPRD Halmahera Tengah dan turut terlibat dalam menyusun visi dan misi pemerintahan mengenai perlindungan hak-hak yang dimiliki masyarakat adat, namun perjuangan tersebut tak membuahkan hasil dan mengambang pada proses eksekusi.
Munadi Kilkoda konsisten dengan tujuannya menyatakan sikap untuk perlindungan hak masyarakat adat. Dalam perjalanannya, ia menemui kendala dan tantangan yang begitu masif terjadi. Bahkan berimbas kepada pekerjaannya sebagai seorang anggota dewan.
Ditemui tim liputan pada 4 November 2023, Munadi Kilkoda membongkar praktik ‘jahat’ yang ada di lingkaran ruang legislatif Halmahera Tengah.
“Halteng ini termasuk daerah IUP nya begitu banyak. Banyak pihak yang berkepentingan untuk menguasai lahan masyarakat adat. Ketika kita berbicara Perda yang berkepentingan terhadap masyarakat, itu pasti akan selalu ada gesekan yang kuat,” bebernya.
Ketua AMAN dua periode ini menyebut, selama ini terjadi pertarungan sengit di wilayah industri Halmahera Tengah. Bak menjadi rahasia umum, gesekan tersebut menjadi kendala lahirnya Perda yang mendorong perlindungan hak masyarakat adat termasuk ruang hidup. Terlebih, posisi pemerintah setempat yang secara terang-terangan memudahkan akses investor untuk menggarap lahan produktif di Halmahera Tengah.
Misalnya saja, perluasan kawasan konsesi pertambangan PT IWIP. Di mana yang awalnya 500 hektar menjadi 15 ribu hektar. Bahkan wacana ditambah 7.000 hektar sehingga total wilayah konsesi mencapai 22 ribu hektar.
Angka fantastis ini nampaknya menjadi ancaman besar untuk tiga hingga empat kecamatan di Weda. Mulai dari Weda Tengah, Utara, Timur hingga mengancam Patani Barat.
“15.000 hektar saja ini kecamatan sudah habis menjadi kawasan industri, Weda Tengah, Utara, Timur dan kalau ditambah 7.000 lagi, berarti Patani Barat juga habis. Jadi wilayah-wilayah produktif itu masuk dalam kawasan industri. Nasibnya akan sama seperti Desa Lelilef. Akhirnya kebun-kebun juga habis termasuk ruang hidup warga asli di sana,” tuturnya.
Pilunya, 19 anggota DPRD Halmahera Tengah menyetujui adanya perluasan kawasan industri tersebut. Hanya satu yang menolak, yakni Munadi Kilkoda. Baginya, penolakan yang dilakukan itu tak lain demi generasi penerus di Halmahera Tengah. Sayangnya, satu suara yang tak berarti nampaknya membuat dirinya pesimis atas hal tersebut.
“Karena semuanya sudah setuju dan diserahkan pemerintah pusat. Jadi yah, saya cukup pesimis,” tuturnya.
“Artinya, 22 ribu hektar akan menjadi wilayah kekuasaan perusahaan dan masyarakat tidak mendapat apa-apa, Kalau saya satu persepsi dengan banyak orang pasti dengan lebih mudah. Tapi kalau saya hanya sendiri?,” jelasnya.
Diskriminasi pun didapatkannya gegara tak satu suara bersama dengan rekan-rekan legislator. Selama 4 bulan, Munadi tak dilibatkan dalam rapat hingga dikucilkan. Jika menelisik jauh, menurut Munadi, rerata anggota DPRD di Maluku Utara adalah keturunan masyarakat adat.
Namun isi kepala Munadi menggelitik. Pasalnya, rumit untuk menentukan satu tujuan dalam konteks pertahanan hak masyarakat adat ini. Sehingga kata Munadi, ketika hak-hak masyarakat adat didorong ini sulit dipertemukan untuk satu tujuan.
“Padahal kalau dipikir kita ini generasi,” tegasnya.
Kondisi DPRD Halmahera Tengah pun ruwet dengan banyaknya oknum-oknum yang terlibat untuk mendapatkan keuntungan individu.
“Akhirnya, kalau idealisme integritas kalau jadi fokus bisa dibeli itu semua. Walaupun kalau dibilang masyarakat asli tapi kalau sudah uang yang berbicara,” celetuknya.
Padahal, sambung Munadi, ketika berbicara tentang kawasan industri ada tanah dan ruang hidup masyarakat adat yang menjadi warga lokal asli sejak turun temurun. Dimana, harusnya mengedepankan hak dan pendapat mereka.
Stakeholder pun pada dasarnya terlibat dalam mendorong perluasan konsesi kawasan industri. Meski begitu, menurut Munadi Kilkoda bukan berarti menjadi representatif dari suara masyarakat adat.
“Stakeholder ini kadang-kadang tidak terseleksi, terkadang pemerintah ini sudah menganggap keterwakilan. Keterwakilan yang mana yang dilibatkan kalau cuman kepala desa atau camat, itu tidak masuk dalam representatif atau partisipatif,” jelasnya.
Harusnya, kata dia, pemerintah wajib meminta izin langsung kepada masyarakat adat sebagai ‘tuan rumah’ dari wilayah mereka untuk menyampaikan perencanaan konsesi ini. Tak berharap dari suara kepala desa atau camat yang datang sosialisasi tanpa mendengarkan pendapat para warganya.
Selama ini, menurut Munadi, masyarakat sulit menyampaikan pendapat atau penolakannya karena tak terlibat langsung dalam rapat-rapat perluasan konsesi. Termasuk, memberikan ruang konsultasi sebagai langkah masyarakat dapat mengetahui hak atas apa yang mereka miliki.
Selama dirinya memimpin AMAN, diskusi berulang terkait konflik agraria sudah menjadi hafalan mati yang tak pernah dijadikan acuan penting terkait persoalan perluasan kawasan industri ini. Ia memberi contoh tentang konflik yang terjadi di Weda Utara dan Weda Tengah. Di mana, saat ini masyarakat mengalami ketimpangan ruang karena akses semakin sempit. Perusahaan membeli lahan secara masif mengambil kebun bahkan perkampungan.
“Masyarakat tidak memiliki apa-apa. Sementara kebutuhan mereka untuk tanah juga tak bisa dihindari. Ada yang mau bikin rumah ataupun usaha. Nah kalau sudah tidak ada, dia (masyarakat) mau ambil dimana ?,” tuturnya.
Pencanangan Dua Perda Membentengi Perluasan Kawasan Industri
Masih ada harapan untuk mempertahankan wilayah Halmahera Tengah dari ancaman kawasan industri. Di mana, Munadi Kilkoda bersama rekan-rekannya yang satu tujuan mendorong lahirnya dua Perda penting. Ikhtiar yang dilakukan terus menerus ini agar terciptanya Perda RTRW dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Sayangnya, revisi Perda nomor 01 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah, Maluku Utara, dinilai masih kabur. Sejak didorong pada 2022 lalu, tak ada hasil pasti untuk terwujudnya perda RTRW ini. Bak abu-abu di Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Hal ini menurut Munadi harus segera disahkan agar arahan dalam memanfaatkan ruang lebih tepat. Demi menjaga hak-hak yang dimiliki masyarakat adat.
“Saya dan teman-teman menganggap ini pintu masuk ini ada dua produk (Perda) untuk menghalangi dan membatasi investasi ini menjadi semakin masif,” tuturnya.
Munadi Kilkoda menyebut harapan yang masih menggantung ini akan terus didesak demi kemaslahatan umat. Karena eksplorasi wilayah industri akan terus terjadi. Jika saja strategi tak dipersiapkan, Halmahera Tengah, Munadi Kilkoda kebingungan masa depan generasi penerus.
“Kalau kedua (Perda) ini tidak disahkan kita tak tahu seperti apa (Halmahera Tengah) ke depannya,” tutur politisi NasDem ini.
Baginya, Perda RTRW ini menjadi persiapan jangka panjang untuk masa depan Halmahera Tengah. Karena menurutnya, yang pertama dan mendasar menjadi pertimbangan terkait perluasan wilayah konsesi lagi-lagi adalah memikirkan kepentingan masyarakat.
“Kadang-kadang menjengkelkan, ketika ikhtiar ini kita lakukan,” kesal Munadi. Pasalnya, bagi Munadi begitu rumit menuntaskan Perda yang mendorong kepentingan masyarakat adat, karena perjuangan yang cukup panjang. Terlebih perdebatan yang terus terjadi antara sesama anggota DPRD untuk terciptanya sebuah Perda menjadi satu kendala penting.
Hal tersebut sambungnya, agar nasib Desa Lelilef dan Gemaf tak dirasakan wilayah lainnya yang berada di lingkar utama aktivitas pertambangan.
“Orang yang datang lebih banyak menguasai tanah-tanah produktif. Lelilef contohnya. Untuk pengembangan kampung terutama untuk pemukiman, pemakaman atau fasilitas lain yang akan dibangun itupun sudah sulit karena diapit perusahaan. Teorinya sederhana pertumbuhan akan berkonsekuensi pada kebutuhan ruang. Ruangnya sudah tidak ad tapi pertumbuhan penduduk semakin tinggi,” jelasnya.***