Solusi Gelar Pahlawan Nasional bagi Guru Tua

Oleh: Mohammad Nur Ahsan (Dosen Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, UIN Datokarama Palu)

Sayyid ‘Alawi bin Saggaf al-Jufri (w. 1273 H./1856-1857 M.) adalah kakek Sayyid ‘Idrus bin Salim al-Jufri atau Guru Tua. Di masa hidupnya, Sayyid ‘Alawi dikenal sebagai ulama yang ahli dalam bidang hadis serta pengusaha real estate. Tidak berhenti sampai di situ, dalam catatan sejarawan Jerman, Ulrike Freitag, Sayyid ‘Alawi aktif dalam perjuangan melawan pemerintahan protektorasi Inggris di Yaman.

Perlawanan Sayyid ‘Alawi terhadap kolonialisme Inggris sudah tentu menginspirasi cucunya di kemudian hari untuk melakukan hal yang sama. Perbedaannya, bila sang kakek hanya melawan penjajahan Inggris, maka Guru Tua melawan dua penjajah sekaligus: Inggris di Yaman dan Belanda di Nusantara.

Guru Tua menerapkan pendekatan yang berbeda dalam menghadapi dua rezim kolonial tersebut. Ketika menghadapi Inggris, misalnya, Guru Tua memakai pendekatan diplomasi. Adapun ketika melawan penjajahan Belanda, beliau memilih jalur pendidikan.

Pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan Politik Etis di pembuka abad kedua puluh. Salah satu wujud dari kebijakan itu adalah menyediakan akses pendidikan. Hanya saja, pendidikan yang disediakan terbatas bagi kelompok masyarakat elit dan warga yang beragama Kristen. Di sinilah letak peran sentral Guru Tua. Berkat madrasah Alkhairaat yang beliau dirikan di Palu pada 1930, Guru Tua melawan kebijakan kolonial dengan cara menyediakan pendidikan untuk semua kalangan. Lembaga pendidikan ini, pada kelanjutannya, menghasilkan generasi muda yang memiliki rasa cinta terhadap Tanah Air.

Atas perannya dalam mendemokratisasi akses pendidikan hingga menyentuh masyarakat kelas menengah dan bawah, warga di Provinsi Sulawesi Tengah menilai Guru Tua layak untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah. Upaya untuk mewujudkan harapan ini sudah dilakukan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun tak kunjung menuai hasil hingga detik ini.

Berkaca pada Tombolotutu

Di tengah upaya pengusulan Guru Tua guna mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional, pada 2021, pemerintah justru memberikan gelar tersebut kepada Tombolotutu. Kenyataan ini mengejutkan banyak pihak, karena ingar bingar pemberitaan tentang ikhtiar pengajuan gelar kepahlawanan Tombolotutu tidak semasif Guru Tua.

Sebagian kalangan mungkin melihat gelar pahlawan nasional bagi Tombolotutu sebagai suatu anomali. Bagaimana tidak, dari sisi jumlah publikasi, karya-karya terkait peran Guru Tua dan Alkhairaat jauh mengungguli Tombolotutu. Karya-karya tersebut mencakup buku, artikel, hingga karya populer. Para ahli dari luar negeri juga ikut meneliti dan menerbitkan karya tentang Guru Tua. Lalu mengapa rekognisi pemerintah terhadap Guru Tua sebagai pahlawan nasional tak kunjung dituai?

Hal utama yang membedakan proses pengajuan gelar kepahlawan antara Guru Tua dan Tombolotutu adalah keterlibatan sejarawan terlatih (historian by training) di dalamnya. Yang dimaksud dengan sejarawan terlatih adalah mereka yang memahami cara kerja sejarah sebagai disiplin ilmu. Naam, banyak orang yang suka berbicara tentang sejarah, namun sedikit yang memahami cara berurusan dengan masa lalu sesuai dengan kaidah ilmiah. Dalam kasus Tombolotutu, para sejarawan terlatih dilibatkan secara aktif. Di lain pihak, pemandangan yang sama justru tidak terjadi pada Guru Tua.

Kehadiran sejarawan terlatih di dalam tim gelar kepahlawanan bagi seorang tokoh tidak dapat dianggap sepele, karena mereka memahami metode sejarah yang, di antaranya, meliputi pencarian, pengumpulan, serta verifikasi sumber agar selaras dengan standar ilmiah. Segaris dengan itu, Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GP) juga dipimpin dan diisi oleh para sejarawan terlatih. Tanpa memahami cara kerja para ahli dalam bidang ilmu sejarah, musykil membayangkan Guru Tua mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Halaman Selanjutnya

Jalin Komunikasi…

Pos terkait